Palembang dan Ibukota Sriwijaya
Palembang dan Aspek
Internasionalnya
"Menilik Otentisitas Keberadaan Pusat Sriwijaya"
"Menilik Otentisitas Keberadaan Pusat Sriwijaya"
Oleh
: Arafah Pramasto
Editor: Kms. Gerby Novario

Gambar. Peta Sebaran Tinggalan Sriwijaya di Kota Palembang
Sebagai ibukota provinsi Sumatera
Selatan, Palembang apabila ditinjau dari segi historisnya dapat dikatakan
sebagai “Kota yang Beruntung.” Sejarah yang panjang membuatnya memiliki
peninggalan-peninggalan sejarah, situs-situs bersejarah, ataupun tempat
rekreasi bersejarah. Beberapa prasasti seperti Kedukan Bukit, Talang Tuo,
Telaga Batu dan Boom Baru ditemukan di kota ini. Beberapa situs penting seperti
situs Karanganyar yang mengindikasikan kemajuan irigasi di zaman Sriwijaya,
situs Candi Gede Ing Suro dengan aspek peninggalan lintas zaman sejak zaman
Budha hingga datangnya Bangsawan Demak yaitu Ki Gede Ing Suro yang menyebarkan
Islam, situs Bukit Seguntang dengan nuansa historic nya, Beringin Jungut, dan Candi Angsoko dengan kemisteriusannya; semuanya
melambangkan kemapanan peradaban dari masa ke masa di kota ini. Bahkan
museum-museum seperti museum Sriwijaya yang berdiri di atas situs Karanganyar,
Museum Balaputeradewa di KM. 5 yang juga memamerkan tinggalan lampau dan peninggalan modern seperti tekstil
Palembang disamping memiliki Corner khusus
yang dibuat dengan kerjasama antara pemerintah Palembang dan Kerajaan
Malaka-Malaysia- mengingat sosok Prameswara (pendiri Malaka) sangat erat
hubungannya dengan Palembang, ditambah lagi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II
yang di belakangnya terdapat Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera) guna
mengabadikan kejadian Pertempuran Lima Hari Lima Malam di masa Revolusi Fisik.
Dalam sejarahnya yang gemilang ini, apabila beberapa tahun lalu diadakan
perhelatan sekelas SEA Games dan ISoG (Islamic Solidarity Games) yang bertaraf
internasional, sebenarnya bukanlah hal baru. Palembang di masa lalu telah
menjadi kota yang tenar untuk mancanegara, inilah yang dapat menjawab polemik
popular tentang lokasi pusat Sriwijaya yang selalu dipertanyakan.
Aspek internasional kota Pelambang
dapat dirujuk kepada berita Tiongkok. Pada tahun 671 M I-Tsing mendarat di
daerah ibukota kerajaan Shih-Li-Fo-Tshih
(Sriwijaya) dan menetap selama
beberapa tahun untuk mempelajari kitab suci agama Budha dan bahasa Sansekerta.
Ia berangkat dengan kapal orang Ta-Shih (Arab)
dan Posse (Persia). [1]
Sumber Tiongkok lainnya menyebutkan bahwa pada 717 M sebanyak 35 kapal Posse
juga dating ke kerajaan Shih-Li-Fo-Tshih.
[2]
Jelaslah telah ada hubungan diplomatik antara kerajaan Sriwijaya dengan
Tiongkok dan Timur Tengah. Sebagaimana dalam sumber Arab abad ke-8 M, ditemukan
surat-surat dari Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah Muawiyah (661 M) dan kepada
Kalifah Umar Bin Abdul Aziz (m. 717-720 M), dalam sebuah kitab yang ditulis
oleh AL-Jahizh (783-869 M).[3]
Penguasa Sriwijaya dalam tulisan Arab disebut sebagai “Maharaja (dari)
Pulau-Pulau.”[4]
Sriwijaya disebut dalam sumber Arab sebagai Sribuza.[5]
Gambar. Prasasti Kedukan Bukit berisikan mengenai pembangunan wanua atau perkampungan oleh Dapunta Hyang dan pengikutnya.
Dengan mengambil tinjauan dari pihak
asing didapatlah fakta tentang aspek internasional Palembang. Ada keunikan dalam
masalah ini, yaitu usia berita I-Tsing lebih awal dibandingkan dengan tahun
prasasti Kedukan Bukit (682/683 M). Sekalipun demikian ini bukanlah hal kontradiktif.
Bambang Budi Utomo meyakini prasasti ini adalah yang tertua dalam sejarah
kerajaan Sriwijaya.[6]
Dengan berita I-Tsing yang lebih awal itu, prasasti Kedukan Bukit menjadi
penguat informasi I-Tsing. Berarti berdirinya Kedukan Bukit menandakan
keberadaan Sriwijaya yang telah mapan lebih awal. Ini juga tercermin dalam
prasasti Talang Tuo yang datang selanjutnya. Prasasti Talang Tuo menceritakan
tentang pendirian taman Sriksetra. Taman ini berisi tanaman-tanaman yang
berguna untuk umum. Nampaknya prasasti ini dibuat untuk memperingati pembuatan
sebuah bangunan penanda. Sebagaimana kita ketahui bahwa sebuah peradaban akan
menandai puncak kejayaannya dengan membuat bangunan-bangunan monumental.
Gambar. Prasasti Talang Tuo berisikan mengenai pembangunan Taman Srikestra oleh Dapunta Hyang Srijayanasa
Peraturan tentang loyalitas dan
birokrai bisa didapatan dari prasasti Telaga Batu, tanpa angka tahun, namun
kebanyakan diyakini sezaman dengan prasasti Kedukan Bukit. Tidak adanya angka
tahun dalam Telaga Batu mengindikasikan, berdasarkan perkiraan kesamaan waktu
dengan prasasti Kedukan Bukit, karena sebenarnya bentuk birokrasi dan kesetiaan
serta loyalitas dalam pemerintahan-seperti yang tercantum dalam Telaga Batu-
telah ada dianut sejak lama oleh rakyatnya. Sekali lagi telah terlihat
bagaimana kerajaan ini telah begitu mapan di masa itu. Ditinjau dari lokasi penemuan
tiga prasasti ini (Kedukan Bukit, Talang Tuo, dan Telaga Batu), dimana
ketiganya dianggap sebagai prasasti “kunci” peradaban Sriwijaya, didapatkan
juga gambaran tentang luas daerah pusat kerajaan Sriwijaya. Prasasti Kedukan
Buki ditemukan di kaki Bukit Seguntang, di bagian timurnya adalah tempat
ditemukannya prasasti Telaga Batu ; Daerah Kampung 2 Ilir belakang kompleks PT.
Pusri. Pada bagian barat lautnya ditemukan prasasti Talang Tuo ; di daerah
Kecamatan Talang Kelapa. Kawasan-kawasan itu menggabarkan lingkaran kota
Palembang kala itu-sebagai puat Sriwijaya-meliputi 400.61 km2.[7]
Melihat prospek kerajaan Sriwijaya
yang mampu membangun hubungan diplomtik dengan Tiongkok dan Timur Tengah maka
kita juga harus melihat bagaimana eksistensi Sriwijaya dalam kancah regional
yang lebih kecil, contohnya di kawaan Asia Tenggara. Salah satu prasasti
Sriwijaya, Prasasti Ligor (775 M), ditemukan di kawasan Semenanjung Melayu,
didalamnya disebutkan sebuah Jabatan yaitu Bhupati,
yang juga ditemukan dalam prasasti Telaga Batu. Kemungkinan kuat ialah kawasan
ini berada dibawah protektorat Sriwijaya. Apabila dilihat dari segi bahasa yang
dipakai, yaitu bahasa Sansekerta,[8]
dimana kebanyakan untuk prasasti Sriwijaya yang ditemukan di daerah Sumatera
Selatan berbahasa Melayu Kuno menjadi bukti bahwa Kerajaan Sriwijaya
menghormati independensi wilayah protektoratnya. Demikian juga telah diketahui
berita I-Tsing yang pernah belajar bahasa Sansekerta di Sriwijaya. Perlu
dimengerti kiranya bahwa bahasa Sansekerta adalah bahasa yang banyak dituturkan
oleh Kasta tertinggi Kaum Brahmana Hindu (sesuai dengan kepercayaan bahwa
bahasa ini adalah bahasa para Dewa[9]).
Bahasa ini lumrah ditemukan dalam prasasti-prasasti di Jawa. Di luar Asia
Tenggara, Sriwijaya memiliki sumber asing seperti Prasasti Nalanda (860 M) yang
berada di Bihar, India. Dalam Prasasti berbahasa Sansekerta tersebut menyebutkan
bahwa Raja Dewapaladewa dari kerajaan Colamandala (Coromandel) memenuhi
permintaan Raja Balaputradewa “Sri Maharaj Svarnadvipa” untuk dibuatkan sebuah
asrama bagi para Bhiksu. Sriwijaya menunjukkan sebuah model negara adidaya,
memiliki bahasa resmi, dan memiliki hubungan international yang kuat.
Gambar. Prasasti Telaga Batu berisikan mengenai sistem pemerintahan dan kutukan masa Kedatuan Sriwijaya.
Hubungan antara kerajaan Sriwijaya
dan Cola kemudian memburuk. Berdasarkan informasi dari Museum Sriwijaya, memburuknya hubungan ini
disebabkan oleh peraturan pajak yang tinggi yang diterapkan oleh kerajaan
Sriwijaya kepada para pedagang Tamil. Raja Cola saat itu, Rajendra Coladewa
yang merasa sebagai pelindung para pedagang Tamil merespon Sriwijaya dengan
serangan militer pada 1025 M. Alterntif lain dari alasan penyerangan ini adalah
misi ekspansi ke wilayah-wilayah Asia Tenggara yang memang direncanakan oleh
raja Cola itu. Berdasarkan prasasti Tanjore di daerah Tamil Nadu, berangka
tahun 1030 M yang memuat catatan tentang wilayah-wilayah yang diserang oleh
Rajendra coladewa seperti : Sriwijaya, Malaiyur (Jambi), Ilangosagam
(Langkasuka), Ilamuridesam (Lamuri), dan lainnya. Penyerangan ini dipercaya
sebagai penyebab melemahnya kerajaan Sriwijaya.
Lemahnya kerajaan Sriwijaya itu
ternyata belum menyebabkan kerajaan Sriwijaya hancur sama sekali. Eksistensi
kerajaan ini masih juga disebutkan dalam berita Tiongkok dalam Buku Sejarah Dinasti Song disebutkanlah
negeri San-Fo-Tsi / San-Bo-Tsai atau Sriwijaya yang
beribukota di Chan-Pi (diperkirakan “Jambi”), dimana dalam negeri
itu terdapat banyak tempat yang berawalan Pu- atau Po- .[10] Tetapi
kemudian disebutkan lagi bahwa pada tahun 1079 M Sriwijaya dan Jambi mengirim
utusan ke Tiongkok, kemudian pada 1082 M hanya Jambi yang memiliki hubungan
resmi dengan Tiongkok.[11]
Informasi ini dapat digarisbawahi bahwa pasca penyerbuan Cola, Jambi menjadi
ibukota Sriwijaya. Pengiriman utusan pada 1079 M ke Tiongkok lebih menunjukkan
bentuk protektorat Sriwijaya yang masih hidup, karena Jambi yang menjadi
Ibukota Sriwijaya disebutkan setelah nama Sriwijaya itupun dapat dilihat dari
Prasasti Tanjore yang menyebut nama Jambi sebagai Malaiyur setelah Sriwijaya. Ini
semua dapat diartikan Sriwijaya yang melemah berpindah ke Jambi yang dulu sudah
menjadi daerah protektorat bawahannya lalu Jambi melepaskan diri dari kerajaan
Sriwijaya kira-kira setelah 1079 M. karena pada 1082 M hanya Jambi yang
memiliki hubungan resmi dengan Tiongkok.
Apabila kita memperhatikan rentetan
kejadian dai kerajaan Sriwijaya kita akan menemukan fakta bahwa memang
Palembang yang menjadi pusat bagi kerajaan Sriwijaya. Apabila dihitung dari
usia prasasti-prasasti yang diemukan di Palembang, kita ambil dari prasasti Kedukan
Bukit yang berangka tahun 683 M hingga 1025 M disaat penyerbuan kerajaan Cola
ke Sriwijaya, berarti Palembang sebagai pusat Sriwijaya bertahan selama 342
tahun. Itupun apabila benar Sriwijaya memulai Marwuat Vanua atau mendirikan fundamen kekuasaan pada 683 M,
sedangkan berita I-Tsing jauh lebih tua tentang Shih-Li-Fo-Tshih. Disisi lain ialah jika benar Sriwijaya langsung
memindahkan pusat kekuasaannya ke Jambi pada 1025 M. Sedangkan Jambi sebagai
ibukota Sriwijaya dihitung sejak 1025 M hingga 1079 M ialah 54 tahun, apabila
lepasnya Jambi pada 1082 M ialah 57 tahun Jambi menjadi ibukota Sriwijaya.
Berita Tiongkok dari Chou-Kou-Fei
dalam kitab Ling-Wai-Tai-Ta apada
1178 M, disebukan lagi nama San-Fo-Tsi
yang sudah tidak sekaya dahulu karena kekurangan hasil alam, barang-barang
dagangannya yang mahal, tidak sekaya Tashih
(Arab) dan Cho-Po (Jawa).[12] Memungkinkan
sekali apa yang terdapat dalam berita ini dikarenakan daerah bawahan Sriwijaya,
sama seperti Jambi, banyak melepaskan diri. Perbandingan Sriwijaya dengan Tashih (Arab) dan Cho-Po (Jawa) masih menunjukkan bahwa dalam Ling-Wai-Tai-Ta , Sriwijaya masih diingat sebagai wilayah yang
dahulunya besar. Nampaknya penyebutan Tashih
(Arab) sebagai pembanding adalah merujuk pada Sriwijaya yang belum melemah
yang sebelumnya sangat dekat dengan orang Timur Tengah, sebagaimana I-Tsing
menyaksikan hubungan antara keduanya. Tidaklah mungkin perbandingan ini merujuk
kepada Sriwijaya yang melemah dan pindah ke Jambi.
Gambar. Prasasti Siddhayatra berisikan mengenai kalimat pendek banyak ditemukan di Kota Palembang
Bukti lain yang menunjukan bahwa Palembang merupakan
pusat Sriwijaya ialah informasi dari Ma Huan yang berasal dari Dinasti Ming
abad ke-15 M yang menyertai ekspedisi Cheng Ho ke Palembang. Dalam buku
catatannya yang terkenal, Ying Yai Sheng
Lan ia menyebut wilayah Palembang sebagai San-Fo- Ji, perubahan dari nama San-Bo-Tsai
atau San-Fo-Tsi kemudian lebih
spesifik lagi ia menyebut tempat yang bernama Po-Lin-Fong, sesuai dengan berita dimasa Dinasti Song ; dimana
dalam negeri itu terdapat banyak tempat yang berawalan Pu- atau Po-. Po-Lin-Fong
adalah perubahan dari Palembang ; nama ini merujuk pada bahasa Melayu yaitu
tempat dimana air sungai sering merembes ke daratan (Lembang), dan kondisi ini
masih terjadi pada era 1990-an saat 52,24 % wilayah kota Palembang masih sering
kebanjiran.[13]
Dalam Mao Kun (peta pelayaran) Ma
Huan dan Cheng Ho ditemuan sebuah tempat
yang disebut sebagai Jiu-Jiang atau
“Pelabuhan Tua” di kawasan Palembang. Penyebutan Jiu-Jiang atau “Pelabuhan Tua”
ini menunjukkan pengetahuan yang amat familiar bagi orang Tiongkok tentang
wilayah Palembang sejak dahulu kala yang merujuk pada hubungan yang telah
terbina dengan kerajaan Sriwijaya sejak zaman I-Tsing. Ma Huan menjelaskan
untuk masuk ke kota melalui Jiu-Jiang untuk
menuju ibukota, para pedagang harus merapatkan kapalnya di tepi laut, (lalu)
memakai kapal kecil, dengan itu mereka akan mencapai ibukota.[14]
Apa yang dijelaskan oleh Ma Huan sama seperti rute masuk Sungai Musi melalui
Muara Sungsang.
Sumber-sumber asing ini kita dapat memastikan
bahwa penggugatan Palembang sebagai pusat Sriwijaya
haruslah ditinjau lagi. Tidaklah mungkin apabila sudah didasarkan pada
informasi asing yang memperkuat keberadaan pusat Sriwijaya di Palembang masih
dikritisi demi kepentingan politik semata. Palembang dan aspek intenasionalnya
adalah bukti pengakuan atas eksistensi Sriwijaya di dalamnya.
[1] Notosusanto, Nugroho, Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia III : Zaman
Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam, Jakarta :Balai
Pustaka, 1993. Hal. 45
[2] Utomo, Bambang Budi, Cheng Ho
: His Cultural Diplomacy in Palembang,Palembang : Departemen Pendidikan
Nasional, 2008. Hlm. 57.
[3] Azra, Azyumardi, Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung ;
Mizan, 1994. Hlm. 36-44
[4] Hall, Kenneth R., “Economic History of Early Southeast Asia.” Dalam
The Cambridge History of Southeas Asia
Vol.I From Early Times to c. 1500, Cambridge : Cambridge University Press,
1999. Hlm. 85
[5] Tibett, G.R., Early Moslem
Traders in Souteast Asia, dalam JMBRAS 30 (1), 1957. Hlm. 1
[6] Utomo, Bambang Budi, Cheng Ho
: His Cultural Diplomacy in Palembang,Palembang : Departemen Pendidikan
Nasional, 2008. Hlm. 56
[7] Ibid. Hlm. 23
[8] De Casparis, J.C., Prasasti
Indonesia : Selected Inscriptions from the 7th to the 9th Century
A.D., Bandung : Masa Baru, 1956. Hlm. 1-15
[9] www.bhakti-yoga-meditation.com
diakses 13-Juni-2014/15:24
[10] Soan Nio, Oei, Beberapa
Catatan Tentang W.P. Groeneveldt : Historical Notes in Indonesia and Malay Compiled
from Chinese Sources, Jakarta : Panitia Penyusunan Buku Standard Sejarah
Nasional Indonesia, t.t. . Hlm. 14
[11] Utomo, Bambang Budi, Cheng Ho
: His Cultural Diplomacy in Palembang,Palembang : Departemen Pendidikan
Nasional, 2008. Hlm. 19
[12] Meglio, Rita R., “Arab Trade with Indonesia and Malaya Peninsula.”
Dalam Richard D.S. (Ed.),Papers on
Islamic History II , Islamic and Trade of Asia : A Calloqium , Bruno
Cassier, Oxford : University of Pennsylvania Press, 1970. Hlm. 115
[13] Statistik Pemerintah Kotamadya Palembang, 1990.
[14] Mills, J.V.G.,Ma Huan : Ying
Yai Sheng Lan. The Overall Survei of the Ocean’s Shore, Cambridge :
Cambridge University Press, 1970. Hlm. 98-99