Palembang Massacre: Raffles, Sultan Mahmud Badaruddin II, dan Belanda
Palembang Massacre
Penolakan SMB II terhadap Kolonial Belanda
Pada saat Inggris akan menduduki Pulau Jawa pada tahun 1811, Thomas Stanford Raffles mengadakan
pendekatan kepada raja-raja di Nusantara yang dianggapnya sangat berpengaruh di
wilayah Nusantara. Sultan Mahmud Badaruddin II dianggap Raffles seorang tokoh
yang disegani oleh kawan maupun lawan, dan dengan sendirinya dapat diandalkan
dalam mempercepat jatuhnya Belanda sebelum serbuan besar Inggris terhadap
pemerintahan Belanda-Prancis di Pulau Jawa. Raffles mengadakan upaya pendekatan
terhadap Sultan Mahmud Badaruddin II dengan mengirimkan surat menyurat dan
utusannya, Raffles juga mengirimkan beberapa peti senjata lengkap dengan
amunisinya ke Palembang.[1]
Gambar 1. Ilustrasi Wajah Sultan Mahmud Badaruddin II
(Sumber: www.google.co.id/image)
Sultan
Mahmud Badaruddin II merupakan salah seorang Sultan Palembang anti Kolonial
terutama Belanda yang oleh sejarawan Inggris menyebutnya dengan “never a tama tiger” (tidak pernah mau
menjadi harimau yang jinak) menjadi salah satu target Raffles. Ketika Sultan
Mahmud Badaruddin II mendengar kabar Inggris akan kembali berkuasa di Pulau
Jawa dan sudah merebut Batavia, dengan sigap SMB II memanfaatkan kesempatan tersebut
untuk mengusir Belanda dari Palembang.[2]
Sultan
Mahmud Badaruddin II mengirimkan pasukan ke Loji Sungai Aur (daerah pemukiman
Belanda di hilir Sungai Musi) untuk menjemput pasukan dan pegawai Belanda dan
beberapa pendatang Prancis untuk dipindah lokasikan. Pada mulanya orang-orang
Belanda menolak untuk di pindahkan dari Loji Sungai Aur, akan tetapi dengan
memberikan alasan bahwa Sultan khawatir akan diserang Inggris karena adanya
orang Belanda dan orang asing lainnya di Palembang. Orang-orang Belanda
kemudian mau dipindah lokasikan ke daerah lain yang belum tahu dimana
lokasinya.[3]
Dibawalah
pasukan dan pegawai Belanda menggunakan perahu-perahu rombongan utusan Sultan
dari Loji Sungai Aur. Sesampai ditengah perjalanan di hilir Sungai Musi tepat
pada tanggal 14 September 1811 rombongan perahu yang membawa sebanyak 87 orang rombongan
Belanda dan Prancis berhenti, orang-orang Belanda melakukan perlawanan dan
terjadilah peristiwa penyembelihan massal terhadap orang-orang Belanda kemudian
perahunya ditenggelamkan di hilir Sungai Musi atau tepatnya di Muara Sungsang yang
kemudian dikenal dengan peristiwa Palembang
Massacre.[4]

Gambar 2. Ilustrasi Peristiwa Loji Sungai Aur
(Sumber: www.google.co.id/image)
Seminggu
setelah peristiwa Palembang Massacre, Loji
Sungai Aur di bumihanguskan dan diratakan dengan tanah. Sebuah kisah mengatakan
bahwa setelah Loji Sungai Aur diratakan dengan tanah, bagian atas loji tersebut
kemudian ditimbun dan ditanami dengan rerumputan dan tumbuhan lainnya agar
lokasi dan peristiwa tersebut tidak diketahui oleh Inggris dan Belanda.
Sepenggal
kisah sejarah masa Kesultanan Palembang dari sudut pandang seorang Pribumi. Palembang Massacre menunjukan bentuk
perlawanan Sultan terhadap Belanda dengan memanfaatkan kesempatannya. Kebencian
seorang Sultan terhadap kolonial Belanda yang telah memeras dan memanfaatkan
rakyat Pribumi dan kesultanan yang mungkin menjadi salah satu penyebab kebencian mendalam
terhadap Belanda.
Beberapa
sumber jurnal asing mengatakan bahwa awal dari peristiwa ini merupakan
provokasi Raffles, akan tetapi Raffles sendiri tidak mengakui dan sangat tidak menginginkan
peristiwa Palembang Massacre 14
September 1811 tersebut terjadi.[5]
Peristiwa
Palembang Massacre berbuntut panjang
dalam persoalan dikalangan politikus Belanda dan Inggris sampai dengan abad ke-20.
kemudian menyulut beberapa peristiwa besar lainnya termasuk didalamnya serangan
Inggris dan Belanda ke Palembang dalam Perang Palembang I (1811), Perang
Palembang II (1811), dan Perang Palembang III (1821).