Perekonomian Nusantara Abad 19
Nusantara dan Perdagangan Abad 19
"Naik Turun Perekonomian Masa Kolonial"
Oleh: Kms. Gerby Novario
Pendahuluan
Perkembangan perekonomian nusantara abad 19 tidak lepas
dari pengaruhnya terhadap perkembangan ekonomi Indonesia modern ini, mulai dari
ekonomi Nusantara pada masa hindu Budha, hingga kekuasaan Hindia-Belanda di
Indonesia yang jelas memberikan pengaruhnya masing-masing terhadap perkembangan
ekonomi di Nusantara, hal inilah yang kemudian menjadi suatu yang menarik untuk
dibahas, terutama perkembangan ekonomi abad 19 yang pada saat itu kolonial
Belanda masih berkuasa di Indonesia.
Kehidupan ekonomi di desa-desa
sekitar tahun 1800 ini masih terbilang tradisional dan bersifat turun temurun.
Mereka mengandalkan mata pencaharian bertani untuk memenuhi kebutuhan mereka
sehari-hari. Sistem perekonomian di desa-desa
ini tidak terlepas dari aspek sosiologis dari masyarakatnya, dimana masyarakat
masih berpegang pada tradisi nenek moyang dan menerapkan sistem gotong royong. Kagiatan ekonomi yang paling mendasar bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan sendiri saja bahkan jarang terjadi transaksi jual beli dalam
masyarakat karena seringkali didasarkan atas saling tolong menolong.
Kehidupan ekonomi masyarakat
desa yang didasarkan pada prinsip gotong royong tentu akan berbeda dengan sistem yang harus dilakukan pada petingginya yaitu kepala desa. Rakyat tetap
harus tunduk pada kekuasaan kepala desa karena dianggap sebagai atasan bahkan
sebagai raja dimana mereka (rakyat) berkewajiban untuk memberikan jasanya baik
berupa hasil tani maupun tenaganya.
Ketundukkan masyarakat desa
pada kepala desanya dengan cara penyerahan hasil tanah dapat dikatakan belum
modern karena di setiap penyerahan hasil tanah tersebut tidak disertai dengan
perjanjian atau kesepakatan antara rakyat dengan kepala desa, sehingga peranan
uang pada saat itu masih terbilang sangat kecil (Burger, 1962:94). Tetapi,
berbagai kegiatan pasar pada saat itu sudah mulai berkembang seperti pertukaran
hasil-hasil tanah antara beberapa penduduk setempat meskipun belum dibentuk
suatu lahan pasar yang besar. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi di
desa-desa pada awal abad 19 dapat dikatakan masih sederhana dan sangat
tradisional. Kehidupan ekonomi inilah yang nantinya akan berkembang menjadi
sebuah feodalisme antara rakyat dengan pemerintah Kolonial.
Sistem sewa tanah tidak
meliputi seluruh Pulau Jawa. Di daerah sekitar Jakarta, yang pada waktu itu
disebut Batavia, maupun daerah Priangan, sistem sewa tanah tidak diadakan
karena di wilayah sekitar Jakarta, umumnya tanah-tanah dimiliki oleh swasta
dengan status tanah partikelir, sedangkan di wilayah Priangan, pemerintah
kolonial berkeberatan menghapus sistem tanah paksa kopi (preanger stelsel) yang
memberikan keuntungan besar. Jelas kiranya bahwa pemerintah kolonial tidak
bersedia menerapkan asas-asas liberal secara konsisten jika hal ini mengandung
kerugian material yang besar. Oleh karena itu, daerah Priangan tidak pernah
mengenal suatu fase menengah yang agak bebas di antara dua masa yang dicirikan
oleh unsur paksaan dalam kehidupan ekonomi, seperti telah dikenal oleh
daerah-daerah lain Jawa, melainkan terus-menerus hanya mengenal sistem
tradisional dan feodal sampai pada tahun 1870.
Pelaksanaan sistem sewa
tanah mengandung tiga aspek, yaitu penyelenggaraan suatu sistem pemerintahan
atas dasar modern, pelaksanaan pemungutan sistem sewa, dan penanaman tanam
dagangan untuk di ekspor.
Bangka yang merupakan salah
satu wilayah barat Nusantara yang pada masa abad 19 sangat memiliki pengaruh
terhadap perkembangan ekonomi Nusantara, terutama pihak kolonial yang sangat
ingin berkuasa di Bangka, karena penambangan serta perdagangan timah yang
sangat digencarkan untuk mendapatkana keuntungan setinggi mungkin dari hal itu
tidak lepas dari pembahasan makalah ini dan juga masuk dalam pembahasan khusus.
Dengan demikian perkembangan
ekonomi Nusantara abad 18 tidak lepas dari bentuk dan pengaruh ekonomi
nusantara pada abad-abad sebelumnya, dan juga tidak terlalu mengalami perubahan
yang signifikan seperti pada saat VOC berkuasa hingga 1799.
Ikatan Rakyat, Penguasa, dan Pemerintah Kolonial di
Nusantara
Kehidupan
ekonomi di desa-desa sekitar tahun 1800 ini masih terbilang tradisional dan
bersifat turun temurun. Mereka mengandalkan mata pencaharian bertani untuk
memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Sistem perekonomian di desa-desa ini
tidak terlepas dari aspek sosiologis dari masyarakatnya, dimana masyarakat
masih berpegang pada tradisi nenek moyang dan menerapkan system gotong royong.
Kagiatan ekonomi yang paling mendasar bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
sendiri saja bahkan jarang terjadi transaksi jual beli dalam masyarakat karena
seringkali didasarkan atas saling tolong menolong.
Kehidupan
ekonomi masyarakat desa yang didasarkan pada prinsip gotong royong tentu akan
berbeda dengan sistem yang harus dilakukan pada petingginya yaitu kepala desa.
Rakyat tetap harus tunduk pada kekuasaan kepala desa karena dianggap sebagai
atasan bahkan sebagai raja dimana mereka (rakyat) berkewajiban untuk memberikan
jasanya baik berupa hasil tani maupun tenaganya.
Ketundukkan
masyarakat desa pada kepala desanya dengan cara penyerahan hasil tanah dapat
dikatakan belum modern karena di setiap penyerahan hasil tanah tersebut tidak
disertai dengan perjanjian atau kesepakatan antara rakyat dengan kepala desa,
sehingga peranan uang pada saat itu masih terbilang sangat kecil (Burger,
1962:94). Tetapi, berbagai kegiatan pasar pada saat itu sudah mulai berkembang
seperti pertukaran hasil-hasil tanah antara beberapa penduduk setempat meskipun
belum dibentuk suatu lahan pasar yang besar. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan
ekonomi di desa-desa pada awal abad 19 dapat dikatakan masih sederhana dan
sangat tradisional. Kehidupan ekonomi inilah yang nantinya akan berkembang
menjadi sebuah feodalisme antara rakyat dengan pemerintah Kolonial.
Kelanjutan Sistem Feodal
Selain ikatan
desa yang sudah dijelaskan sebelumnya, dalam kurun waktu awal adad 19 ikatan
desa tersebut diiringi dengan ikatan feodal. Ikatan feodal disini dimaksudkan
pada kehidupan perekonomian yang teratur dalam pelaksanaannya. Rakyat yang
diberi tugas untuk mengolah pertanian dan menyerahkan hasil tani itu kepada
pejabat desa, dalam hal ini kepala desa, mengabdikan diri juga pada bupati dan
pemerintah Belanda. Sistem feodalistik dalam kehidupan perekonomian ini
memiliki ikatan yang tidak dapat dipisahkan, yaitu dari rakyat kepada kepala
desa, kemudian dari kepala desa kepada bupati dan dari bupati kepada pemerintah
yang paling tinggi yaitu pemerintah
Belanda. Ikatan feodal tersebut menggunakan prinsip dasar dari ikatan
desa, hanya saja lebih bersifat memaksa dan wajib dilaksanakan oleh rakyat
untuk keberlangsungan perekonomian Indonesia di bawah Belanda.
Ikatan feodal
yang sangat kental pada awal abad 19 dan pengaruhnya terhadap kehidupan ekonomi
di Jawa terlihat dari sistem penyerahan hasil tanah yang sanagt identik dengan
pemaksaan dari para penguasa. Hasil-hasil dari penyerahan tersebut oleh
pemerintah dijadikan sebagai komoditi dagang dan ekspor oleh pemerintah
Kolonial Belanda, sedangkan untuk upah kepada rakyat seringkali tidak diberikan
kepada rakyat karena tetap menjadikan ikatan adat sebagai dasarnya. Perdagangan
lebih banyak dilakukan dengan luar negeri, sedangkan di dalam negeri sangat
jarang bahkan hampir tidak ada kegiatan perdgangan yang berarti, jika saja ada
hanya ada distribusi barang-barang konsumsi hanya sebagian yang mempunyai sifat perdagangan
yang diorganisisr dalam syitem kontrak (Burger, 1962:111).
Hasil-hasil
tanah yang sering diperdagangkan dan di ekspor pada saat itu antara lain,
beras, lada, nila, kapas, dan kayu. Hasil tanah tersebut oleh rakyat diserahkan
kepada pemerintah dengan jalan feodal. Artinya, penyerahan tersebut tidak boleh
berdasarkan prinsip perdagangan tetapi lebih kepada ikatan adat. Hal inilah
yang menyebabkan aliran barang dan jasa dari kalangan rakyat kepada pemerintah
sangat timpang dengan aliran barang dan jasa dari pemerintah kepada rakyat.
Ditambah lagi, hasil-hasil pertanian yang diserahkan kepada bupati yang
kemudian diserahkan kepada pemerintah Kolonial haruslah hasil pertanian yang
dapat di ekspor ke luar negeri, sedangkan hasil tani yang tidak laku di
perdagangan internasional tidak akan diterima.
Dalam masa
feodalisasi ini juga sistem produksi tidak dikelola oleh pengusaha seperti pada
umumnya, tetapi langsung dilakukan oleh pemerintah yang didalamnya ada para
kepala desa, bupati, raja, dan pemerintah pusat. Produksi barang dan jasa ini
hanya dilakukan untuk kepentingan-kepentingan pemerintah saja baik raja maupun
pemerintah Kolonial. Dalam proses distribusinya pun langsung dilakukan oleh
pihak pemerintah Belanda, yang dalam hal ini menyangkut distribusi ke luar
negeri.
Pengaruh besar
daripada ikatan desa dan ikatan feodal yang kemudian menjadi satu nama yaitu
ikatan adat terhadap kehidupan perekonomian di Jawa pada awal abad 19 sangat
terlihat pada sistem perekonomian yang diberlakukan oleh pemerintah Belanda.
Penyerahan hasil tanah mulai dari kepala desa, bupati, raja, sampai pemerintah
harus dilaksanakan berdasarkan ikatan desa yang tradisional dimana pemerintah
ini memanfaatkan sistem tersebut dalam kegiatan ekonomi dari rakyat kepada
pemerintah.
Sistem ikatan
desa yang telah ada dalam kehidupan masyarakat sejak dulu memang dijadikan
sebagai alasan dan dasar untuk praktik feodalisasi dari penguasa kepada rakyat.
Sistem perekonomian saat itu memang tidak dapat terlepas dari kepentingan
poltik pemerintah kolonial sehingga apapun kebijakan ekonomi yang dikeluarkan
dan diberlakukan di Indonesia saat itu selalu sarat dengan politik kekuasaan.
Sistem Ekonomi Kolonial
Sistem Sewa
Tanah
Sistem sewa
tanah tidak meliputi seluruh Pulau Jawa. Di daerah sekitar Jakarta, yang pada
waktu itu disebut Batavia, maupun daerah Priangan, sistem sewa tanah tidak
diadakan karena di wilayah sekitar Jakarta, umumnya tanah-tanah dimiliki oleh
swasta dengan status tanah partikelir, sedangkan di wilayah Priangan,
pemerintah kolonial berkeberatan menghapus sistem tanah paksa kopi (preanger
stelsel) yang memberikan keuntungan besar. Jelas kiranya bahwa pemerintah
kolonial tidak bersedia menerapkan asas-asas liberal secara konsisten jika hal
ini mengandung kerugian material yang besar. Oleh karena itu, daerah Priangan
tidak pernah mengenal suatu fase menengah yang agak bebas di antara dua masa
yang dicirikan oleh unsur paksaan dalam kehidupan ekonomi, seperti telah
dikenal oleh daerah-daerah lain Jawa, melainkan terus-menerus hanya mengenal
sistem tradisional dan feodal sampai pada tahun 1870. (Poesponegoro,
Notosusanto, 2008 :347)
Pelaksanaan
sistem sewa tanah mengandung tiga aspek, yaitu penyelenggaraan suatu sistem
pemerintahan atas dasar modern, pelaksanaan pemungutan sistem sewa, dan
penanaman tanam dagangan untuk di ekspor. (Poesponegoro, Notosusanto, 2008: 348)
Sistem Tanam
Paksa
Ciri pokok tanam
paksa adalah pemungutan pajak dari rakyat Indonesia dalam bentuk hasil-hasil
pertanian rakyat. Dalam pada itu, pos terpenting dalam anggaran belanja
pemerintahan kolonial Hindia Belanda adalah pos penutup, yaitu pos yang
menutupi jumlah penerimaan dan jumlah pengeluaran pemerintah kolonial.
(Poeponegoro, Notosusanto, 2008 : 368)
Di Jawa, penanaman
paksa untuk berbagai tanaman dagangan setelah tahun 1860 lambat laun mulai
dihapuskan. Penanaman paksa untuk lada dihapuskan tahun 1860 dan penanaman
paksa untuk teh dan nila dihapuskan dalam tahun 1865. (Poesponegoro,
Notosusanto, 2008 :368)
Walaupun
kebanyakan tanam paksa sebenarnya sudah dihapuskan pada tahun 1867, sisa-sisa
penanaman paksa yang masih berlaku untuk beberapa tanaman perdagangan seperti
kopi di beberapa daerah, antara lain Parahyangan, menyebabkan selama masa 10
tahun setelah tahun 1867 pemerintah kolonial masih memperoleh saldo untung yang
begitu tinggi. (Poesponegoro, Notosusanto, 2008 :369)
Sistem Liberal
Sistem ekonomi
kolonial antara tahun 1870 dan 1900 pada umumnya disbut sistem liberalisme.
Maksudnya, bahwa pada masa itu untuk pertama kali dalam sejarah kolonial, modal
swasta diberi peluang kegiatan di Indonesia, khususnya perkebunan-perkebunan
besar di Jawa maupun daerah-daerah di luar Jawa. Selama masa ini pihak-pihak
swasta Belanda maupun swsta Eropa lainnya mendirikan berbagai perkebunan kopi,
teh, gula, dan kina. Pembukaan perkebunan-perkebunan besar ini dimungkinkan
oleh Undang-Undang Agraria yang dikeluarkan pada tahun 1870. Pada suatu pihak
undang-undang ini melindungi hak petani-petani Indonesia atas tanah mereka. Di lain
pihak, UU Agraria membuka peluang bagi orang asing, orang-orang bukan pribuni
Indonesia, untuk menyewa tanah dari rakyat Indonesia. (Poesponegoro dan
Notosusanto, 2008 :371)
Zaman liberal
menyaksikan penetrasi ekonomi uang yang lebih mendalam lagi ke dalam masyarakat
Indonesia, khususnya masyarakat Jawa. Hal ini terutama disebabkan oleh
penyewaan tanah penduduk oleh perusahaan-perusahaan swasta Belanda untuk
dijadikan perkebunan-perkebuanan besar tersebut. Tanah yang disewakan tidak
saja terbatas pada tanah-tanah kosong, tetapi meliputi juga areal persawahan.
Hal ini juga disebabkan oleh kesempatan yang diberikan kepada para petani di
Jawa untuk bekerja di perkebunan-perkebunan besar sebagai buruh harian atau
buruh musiman. (Poesponegoro dan Notosusanto, 2008 :371)
Meluasnya
pengaruh ekonomi Barat dalam masyarakat Indonesia selama zaman liberal tidak
saja berbatas pada penanaman tanaman-tanaman perdagangan di
perkebunan-perkebunan besar, tetapi juga meliputi impor barang-barang jadi yang
dihasilkan oleh industri-industri yang sedang berkembang di negeri Belanda.
Impor barang-barang jadi, yang untuk sebagian besar terdiri atas barang-barang
konsumsi ringan, mempunyai akibat yang buruk bagi usaha-usaha kerajinan rakyat
Indonesia, karena pada umumnya hasil-hasil produksi mereka, baik dalam harga
maupun mutu tidak dapat bersaing dengan barang jadi hasil industri-industri
Barat. Misalnya, impor barang-barang tekstil dan Twente di negeri Belanda
mengakibatkan matinya usaha-usaha penemuan dari penduduk di Pulau Jawa. (Poesponegoro,
Notosusanto, 2008 :372)
Akibat
perkembangan yang menyedihkan ini, penduduk Pulau Jawa makin didorong ke dalam
ekonomi uang, karena hilangnya mata pencaharian yang tradisional memaksa
mencari pekerjaan-pekerjaan di perkebunan-perkebunan besar yang dimiliki
Belanda dan orang-orang lain orang Eropa. Namun, pada umumnya respons penduduk
di Jawa terhadap meluasnya ekonomi uang adalah pasif, artinya sebagian besar
mereka tetap bergantung dari mata pencaharian di bidang pertanian, dan menjadi
buruh pertanian hanya untuk melengkapi pendapatan yang diperolehnya dari
hasil-hasil pertanian jika pendapatan ini tidak mencukupi. Jika para petani ini
terpaksa mencari pekerjaan di perkebunan besar untuk melengkapi pendapatan,
mereka senantiasa berusaha untuk meninggalkan pekerjaan tambahan itu jika tidak
dirasakan perlu lagi. (Poesponegoro dan Notosusanto, 2008 :372)
Pusat-pusat Perdagangan, komoditi, dan Perekonomian
Nusantara Abad 19
Banyak dari
wilayah Nusantara yang menjadi pusat dagang pada abad 19, seperti di wilayah
barat, tengah, dan timur Nusantara. Dan yang akan dijelaskan merupakan
perwakilan dari wilayah-wilayah Nusantara, dan komoditi setiap wilayah di
Nusantara juga berbeda-beda sesuai dengan faktor alam dan kemampuan dari
teknologi yang dimiliki tiap wilayah pada saat itu.
Kerajaan Lada Sunda Dan Sumatera
Lada hitam
(Piper nigrum) berperan penting dalam perdagangan dan peradaban zaman
pra-sejarah sampai zaman modern. Walaupun lada dari India sudah berada dipasar
internasional sejal zaman Romawi, permintaan rempah ini terus meningkat sesudah
abad pertengahan Eropa untuk bumbu dan pengawet daging.
Hasil Lada
Pada zaman
maritim Asia Tenggaran lada pertama kali dicatat tahun 1187 di Jawa oleh Zhou
Chufei. Tak seperti rempah yang lebih halus dari Maluk,Piper nigrum dari India
tersebar cepat dan luas sejak abad ke-14 ke kaki gunung dan daerah pantai utara
Sumatra sampai Jawa Barat. Pada tahun 1382 misi tunggal Jawa ke Cina tercatat
membawa 45 ton lada.
Kemudahan
penyatuan lada pada sawah kering atau ladang akhirnya menjadikannya mudah
dijadikan sebagai tanaman untuk perdagangan oleh orang Aceh, Sunda, Batak,
Pasemah, Rejang, dan Lampung serta para perantau Minang di Jambi, Indragiri dan
Palembang. Di daerah-daerah ini lada ditanam di ladang baru tebangan hutan
setelah menanam padi lebih dahulu tumbuhan lada ditanam dan setelah masa panen
selama tiga hingga dua belas tahun, tanahnya dibiarkan agar kembali subur.
Secara ideal tanah seharusnya tidak ditanami sampai terjadi regenerasi hutan
sekitar 20-30 tahun.
Kemudahan lada
menyesuaikan diri terhadap makanan pokok dan nilainya sebagai barang penukar
untuk kain, garam dan barang mewah lain merangsang perubahan teknik baru
bercocok tanam dihutan,termasuk penanaman pohon dadap (Erythrina
corallodendron) secara luas sebagai tanaman berdaya guna dan pelindung lada.
Pohon ini dengan kandungan pengikat nitrogen mengurangi perusakan tanah yang
biasanya terjadi akibat penanam lada sehingga mengurangi usaha membuka hutan
baru untuk membentuk lahan baru.
Tekanan Permintaan
Sejak awal abad
ke-19 lahan luas apalagi di Lampung yang penduduknya bertambah dengan
perpindahan dari Jawa dibiarkan gundul karena ditumbuhi ilalang (Imperata
cylindrica). Tekanan yang terus meningkat karena budidaya lada menjadi saksi
keberhasilan perniagaan tanaman ini mengendalikan politik ekonomi daerah ini
selama lebih dari empat abad. Selain menjadi katalis untuk revolusi perniagaan
di Laut Tengah yang berpusat di Venesia,lada membawa perubahan luar biasa
masyarakat Asia Tenggara.
Ekspor pedagang
Islam ke Timur Tengah dan Laut Tengah,impor Cina yang meningkat terus karena
pertambahan penduduk membuat Indonesia menguasai hasil,bahkan melebihi Malabar.
Kebutuhan lada di Eropa dihitung meningkat dengan 50-100% pada 60 tahun pertama
abad 16 dan 150% 70 tahun kemudian. Indonesia mengekspor sekitar 60.000 ton
lada pertahun menjelang tahun 1670-an, sebagian besar dari Jawa barat dan
Sumatera. Harga tinggi yang diperoleh lada di pasar internasional selama tahun
1616-1641 membantu perluasan politik kesultanan Aceh dan Banten. Sebaliknya
harga lada mulai menurun pada perempat akhir abad tersebut sejalan dengan
goncangnya kedua kerajaan ini.
Selera Asia
Tenggara untuk barang-barang dari Cina dan India dipertajam dengan adanya lada
sebagai alat penukar. Pertumbuhan ekonomi membawa pula perubahan
sosial-ekonomi,mendorong para raja egalitarian menganut sistem bertingkat yang
terbagi kedalam kerajaan-kerajaan kecil seperti Inderapura dan Mukomuko di
Sumatera Barat.Keduanya semula berada dalam lingkaran perluasan pengaruh
perekonomian Aceh dan Banten.
Pada dasarnya
penguasa pribumi melindungi pasar setempat dari kungkungan kendali monopoli
orang Eropa dan mengembangkan penggantian perak dengan meminta pembayaran tunai
daripada melakukan barter untuk lada. Sementara itu, perubahan kendali dan
lembaga yang dipaksakan dalam struktur organisasi produksi dan pemasaran
meletakkan landasan bagi kebijakan ekonomi penjajah seperti tanam paksa,
monopoli ekspor dan pemusnahan jenis tanaman tertentu sebagai sarana
pengendalian harga. Ekonomi lada di Sumatera dan Jawa menengarai peralihan
kawasan memasuki zaman modern, memungkinkan ekonomi penduduk asli menampung
perluasan perdagangan dunia.
Kemakmuran yang Rawan
Dalam kaitan
dengan ekonomi lada, para penguasa Sumatera dan Jawa barat membangun hubungan
awal mereka dengan bangsa Eropa. Para pedagang Cina membantu perluasan ekonomi
lada dengan dana produksi dan pengangkutan barang. Ekonomi lada menjadi batu
loncatan Cina untuk menembus perekonomian,perpindahan dan pemukiman.
Penghasilan yang
diperoleh dari lada membuka pintu masyarakat pada kejahatan bersenjata,candu
dan judi serta mengacu ekonomi penduduk asli. Di bawah kekuasaan penjajah,hasil
tanaman ekspor lain mengikuti jejak lada, menjadi dasar untuk mengendalikan
ekonomi hampir seluruh Sumatera dan Jawa. Menjelang paruh abad ke-19 mata
dagangan lain seperti kopi dan timah mengungguli lada dalam ekonomi dunia.
Namun perkembangan ekonomi lada bagi Sumatera dan Jawa sejalan dengan suatu
zaman kekuasaan dan kemakmuran.
Penutup
Ikatan feodal
yang sangat kental pada awal abad 19 dan pengaruhnya terhadap kehidupan ekonomi
di Jawa terlihat dari sistem penyerahan hasil tanah yang sanagt identik dengan
pemaksaan dari para penguasa. Hasil-hasil dari penyerahan tersebut oleh
pemerintah dijadikan sebagai komoditi dagang dan ekspor oleh pemerintah
Kolonial Belanda, sedangkan untuk upah kepada rakyat seringkali tidak diberikan
kepada rakyat karena tetap menjadikan ikatan adat sebagai dasarnya. Perdagangan
lebih banyak dilakukan dengan luar negeri, sedangkan di dalam negeri sangat
jarang bahkan hampir tidak ada kegiatan perdgangan yang berarti, jika saja ada
hanya ada distribusi barang-barang konsumsi hanya sebagian yang mempunyai sifat perdagangan yang
diorganisisr dalam sistem kontrak.
Hasil-hasil
tanah yang sering diperdagangkan dan di ekspor pada saat itu antara lain,
beras, lada, nila, kapas, dan kayu. Hasil tanah tersebut oleh rakyat diserahkan
kepada pemerintah dengan jalan feodal. Artinya, penyerahan tersebut tidak boleh
berdasarkan prinsip perdagangan tetapi lebih kepada ikatan adat. Hal inilah
yang menyebabkan aliran barang dan jasa dari kalangan rakyat kepada pemerintah
sangat timpang dengan aliran barang dan jasa dari pemerintah kepada rakyat.
Ditambah lagi, hasil-hasil pertanian yang diserahkan kepada bupati yang
kemudian diserahkan kepada pemerintah Kolonial haruslah hasil pertanian yang
dapat di ekspor ke luar negeri, sedangkan hasil tani yang tidak laku di
perdagangan internasional tidak akan diterima.
Meluasnya
pengaruh ekonomi Barat dalam masyarakat Indonesia selama zaman liberal tidak
saja berbatas pada penanaman tanaman-tanaman perdagangan di
perkebunan-perkebunan besar, tetapi juga meliputi impor barang-barang jadi yang
dihasilkan oleh industri-industri yang sedang berkembang di negeri Belanda.
Impor barang-barang jadi, yang untuk sebagian besar terdiri atas barang-barang
konsumsi ringan, mempunyai akibat yang buruk bagi usaha-usaha kerajinan rakyat
Indonesia, karena pada umumnya hasil-hasil produksi mereka, baik dalam harga
maupun mutu tidak dapat bersaing dengan barang jadi hasil industri-industri
Barat. Misalnya, impor barang-barang tekstil dan Twente di negeri Belanda
mengakibatkan matinya usaha-usaha penemuan dari penduduk di Pulau Jawa.
Akibat perkembangan
yang menyedihkan ini, penduduk Pulau Jawa makin didorong ke dalam ekonomi uang,
karena hilangnya mata pencaharian yang tradisional memaksa mencari
pekerjaan-pekerjaan di perkebunan-perkebunan besar yang dimiliki Belanda dan
orang-orang lain orang Eropa. Namun, pada umumnya respons penduduk di Jawa
terhadap meluasnya ekonomi uang adalah pasif, artinya sebagian besar mereka
tetap bergantung dari mata pencaharian di bidang pertanian, dan menjadi buruh
pertanian hanya untuk melengkapi pendapatan yang diperolehnya dari hasil-hasil
pertanian jika pendapatan ini tidak mencukupi. Jika para petani ini terpaksa
mencari pekerjaan di perkebunan besar untuk melengkapi pendapatan, mereka
senantiasa berusaha untuk meninggalkan pekerjaan tambahan itu jika tidak dirasakan
perlu lagi
Daftar Pustaka
Abdullah,
Taufik, dkk. 2002. Sejarah Modern Awal. Jakarta: Grolier Internasional.
Arismunandar,
Agoes, dkk. 2002. Arsitektur. Jakarta: Grolier Internasional.
Burger,D.H.
(1962). Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia. Jakarta: Negara
_____Pradnjaparamita.
Erman. Erwiza.
2009. Dari Pembentukan Kampung ke Perkara Gelap: Menguak Sejarah _____Timah
Bangka Belitung. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Gde Agung, Ide
Anak Agung, 1989. Bali pada Abad XIX: Perjuangan Rakyat dan Raja-raja
_____Menentang Kolonialisme Belanda 1808-1908. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Poesponegoro,
Marwati Djoened. 2008. Sejarah Nasional Indonesia III & IV. Jakarta: Balai
_____Pustaka.
Tagel Eddy, I
Wayan, 1992. “Bara Lombok di Seberang Bali (Sebuah Studi Pemberontakan
_____Praya) 1891-1894,” Tesis S-2. Sekolah Pasca Sarjana UGM.
Internet:
http://nasional.kompas.com/read/2008/11/21/01505328/sitemap.html
http://sejarah.kompasiana.com/2010/05/28/l%E2%80%99histoire-se-repete-11-palembang-sisi-gelap-raffles-151961.html
http://akhmadelvian.dinpendikpkp.go.id/?com=post&view=item&id=24
http://melayuonline.com/ind/history/dig/287/negeri-bangka-belitung