Kuto Cerancangan : Mystery Palace Of Palembang
KUTO
CERANCANGAN
(Keraton
Palembang yang Menjadi Misteri)
Penulis : Andi Syarifuddin
Editor : Gerby Novario
Kuto Cerancangan
merupakan kelanjutan keraton Palembang pasca Kuto Gawang di Palembang Lamo yang
runtuh akibat pertempuran melawan VOC Belanda dalam tahun 1659. Sultan
Abdurrahman Candi Walang (1659-1706), kemudian memindahkan keraton kesultanan
ke kawasan Beringin Janggut serta membangun masjidnya. Selanjutnya tdk lama
kemudian, oleh Sultan Agung Komarudddin (1714-1724) anak Sunan Abdurrahman
Candi Walang dibangunlah keraton Kuto Cerancangan.
Gambar: Lukisan Penyerangan Belanda Terhadap Keraton Kuto Gawang
Sumber: Leiden
Nama
"Cerancangan" berasal dari kata 'Rancang', karena memang arsitektur
kuto ini telah dirancang khusus oleh Sultan Agung dengan ciri khas kuto atau
temboknya yang terbuat dari batu-batu berlobang-lobang kecil (terawangan).
Dalam manuskrip
Palembang melukiskan letak Kuto Cerancangan ini lokasinya berada lebih jauh ke
darat, dibangun di atas lahan tanah Talang Jawa (antara 17 ilir - 20 ilir) di belakang Kuto Beringin Janggut yang
dibatasi oleh beberapa sungai, yaitu: Sungai Musi, Sei Rendang, Karang Waru, Sei
Tengkuruk dan Penedan. Keraton ini dilengkapi pula Balai Istana, Penghadapan
Luar, peralatan senjata serta seorang kepala penjagaan istananya. Sebagai
kepala penjaga istana Kuto Cerancangan ini ialah Ki. Ngabehi Raksa Upaya bin
Ki. Temenggung Yuda Pati.
Sultan Agung akhirnya
menyerahkan Kuto Cerancangan kepada puterinya Ratu Rangda dan anak-anaknya.
Setelah kemudian Ratu Rangda menikah dengan Sultan Mahmud Badaruddin Jayo
Wikramo (SMB I), Ratu Rangda bergelar Ratu Gading dan tidak lagi tinggal di
Kuto Cerancangan. Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo mendirikan pula istana
baru Kuto Tengkuruk atau Kuto Kecik dan Masjid Agung. Ratu Rangda diboyongnya
ke istana yang baru tsb.
Setelah Kuto
Cerancangan ditinggalkan oleh penghuninya, istana ini menjadi kosong dan mati.
Sultan Agung pun tdk pula menjadikannya sebagai istana, beliau lebih memilih
tinggal di keraton Beringin Janggut yang sekarang telah menjadi pasar 16 ilir.
Kuto Cerancangan selanjutnya dijadikan ungkonan lahan pemakaman khusus bagi
keturunan Raja-raja Palembang. Setelah Kesultanan Palembang Darussalam jatuh ke
tangan kolonial Belanda (1823), barulah beberapa golongan rakyat biasa mulai
ikut menguburkan jenazah di tanah Kuto Cerancangan.
Dalam tahun 1916, areal
Kuto Cerancangan tsb telah dilarang oleh pemerintah Belanda sebagai tempat
pemakaman, karena kolonial Belanda telah membuka beberapa lahan baru utk Taman
Pemakaman Umum (TPU) di Kota Palembang.
Setelah zaman
kemerdekaan, Kota Palembang mulai berkembang menjadi kota modern. Maka lokasi
tanah pekuburan Kuto Cerancangan ini perlu akan dibangun gedung-gedung
bertingkat sebagai pusat kota, area sentra bisnis. Kuburan-kuburan tua banyak
dibongkar dan dipindahkan. Sungai Tengkuruk di timbun sejak tahun 1928 dan
dijadikan ruas jalan utama yang sekarang dikenal dengan jalan Jenderal
Sudirman.
Dengan demikian, Kuto Cerancangan hanya
tinggal kenangan.
Sumber: Kms. H.Andi Syarifuddin (KHAS)