Pendidikan Sejarah: Penguatan identitas Nasional
Menakar
Kredibilitas Pendidikan Sejarah sebagai Penguat Identitas Nasional:
Refleksi,
Tantangan, dan Prospek
Oleh: Muhammad
Reza Pahlevi
Setidaknya terdapat dua persoalan
yang dikeluhkan sejumlah kalangan mengenai Pendidikan Sejarah. Pertama, masalah Pendidikan
Sejarah yang tidak jarang dikesankan membosankan oleh sejumlah peserta didik,
karena dianggap hanya mengajarkan hapalan segudang peristiwa bersejarah, baik
nama peristiwa, para pelaku, waktu, tempat, dan kronologi kejadiannya.
Kedua, masalah peranan Pendidikan
Sejarah dalam menguatkan identitas nasional. Masalah ini mengemuka, lantaran
belakangan ini, tak jarang sejumlah masyarakat dan sejumlah media massa mempertentangkan
keragaman Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA)[1].
Padahal, manakala Pendidikan Sejarah dapat dioptimalkan, mestinya ketegangan SARA antar warga bangsa tidak
terjadi.
Sebab, bukan hanya membangun
memori kolektif kebangsaan, tetapi juga tugas pokok Pendidikan Sejarah adalah
mendekatkan peserta didik kepada pengalaman nyata bangsanya dan
mentransformasikan nilai-nilai persatuan nasional. Jika para pelaku ketegangan
SARA pernah dan memahami esensi dasar dari belajar sejarah, mestinya satu sama lain dapat saling membangun kerukunan dan menjaga
persatuan nasional.
Artinya apabila yang terjadi malah
sebaliknya, jangan-jangan Pendidikan Sejarah selama ini kurang kredibel (kurang
mampu) dalam menguatkan identitas nasional. Oleh karena itu, alih-alih bertopang
dagu, yang harus dilakukan oleh para penggiat Pendidikan Sejarah justru
menemukan formula dan mengimplementasikan model Pendidikan Sejarah yang mangkus
dan sangkil dalam menguatkan identitas nasional.
Menyingkap Dalaman Ilmu Sejarah
Seiring dengan perkembangannya, ilmu sejarah mendapat
posisinya sebagai sebuah kajian ilmiah yang memiliki kaidah dan kerangka
kerjanya sendiri. Hal ini dimulai ketika metode
ilmiah yang merupakan difusi pemikiran Plato dan Aristoteles menjadi dasar
dialogis ilmuwan untuk memisahkan masalah demarkasi[2]
yang ada. Melalui metode ilmiah inilah kemudian menjadikan sejarah yang menceritakan
masa lalu itu dapat dikatakan sebagai sesuatu yang “ilmiah”. Artinya, dewasa
ini ilmu sejarah menegasikan kehadirannya dalam bentuk yang sangat sederhana
melalui sebuah cerita yang cenderung lebih dekat kepada sastra[3], karena dihasilkan dari proses pencarian
ilmiah yang menempatkan fakta sebagai elemen dasar untuk menciptakan historiografi.
Jika dijelaskan dalam bentuk
bagan, berikut ini tahapan pembuatan karya sejarah:
Bagan 1
Struktur Sejarah Sebagai Ilmu
Berdasarkan bagan di atas, maka sejarah merupakan cerita tentang peristiwa
yang sungguh-sungguh telah terjadi. Untuk memastikan bahwa kisah sejarah (historiografi) itu
benar-benar non-fiktif, maka para penulis sejarah wajib menempuh empat metode. Kesatu, heuristik atau pengumpulan sumber evidensi peristiwa sejarah. Kedua, kritik terhadap evidensi untuk menyaring dan memperoleh
evidensi yang akurat. Ketiga, interpretasi
terhadap evidensi. Keempat,
historiografi atau menuliskan evidensi berikut
penafsirannya.
Pada dasarnya, historiografi
berpijak pada beberapa konsep dasar (scaffolding). Antara lain konsep waktu (tempo, duree, yang menghasilkan
periodisasi), konsep ruang (spasial), konsep
peristiwa yang berisi pelaku dan perilaku,
penafsiran (kausalitas/sebab-akibat dalam sejarah atau arah sejarah), dan
konsep keunikan dalam sejarah bahwa peristiwa
sejarah terjadi hanya sekali dan tidak dapat diulang atau tidak bisa berulang.
Helius
Sjamsuddin (1996: 18) menerangkan bahwa
tujuan ilmu sejarah adalah memelihara hasil-hasil penelitian mengenai masa lalu menjadi pengetahuan
yang berguna dan bermakna.
Melalui cerita sejarah, informasi tentang masa lampau dapat
dikenali, sebab fakta sejarah dianalisis dan
ditafsirkan dengan cara-cara tertentu. Fakta sejarah dirangkai dalam
hubungan-hubungan logis yang fungsional dengan berbagai kombinasi, antara lain
hubungan kronologis, hubungan kausal, hubungan genetis, dan proses perubahan.
Revolusi Ilmu dan Paradigma
Baru
Historiografi di dalam sejarah memiliki dua makna. Kesatu, penulisan sejarah (historical writing). Kedua,
sejarah penulisan sejarah (historical of
historical writing). Selain itu, historiografi
memiliki perbedaan gaya penulisan sesuai jiwa zaman (zeitgeist). Misalnya, historiografi Yunani lebih beragam dalam segi tema penulisannya, sedangkan historiografi Romawi relatif seragam, yaitu bernuansa patriotisme seperti menunjukkan kegemilangan imperium Romawi dan mengandung
imajinasi[4].
Salah satu sejarawan Romawi yang
terkenal adalah Titus Livy, penulis History of Rome, yang menggambarkan kebesaran imperium Romawi.
Selain menggambarkan kisah patriotik,
Titus juga menggambarkan keadaan yang sebenarnya di Romawi, seperti praktik kekejaman, penyiksaan, gladiator, dan sebagainya. Dalam sejarah
penulisan sejarah, Titus dinobatkan sebagai sejarawan pertama yang memakai imajinasi dalam mengungkapkan eksplanasi sejarah.
Jika produk sejarah (historiografi)
mampu menampilkan wajahnya sesuai dengan zeitgeist,
maka dalam hal kredibilitasnya pun pemahaman sejarah harus dapat memposisikan
tempatnya sesuai dengan kebutuhan zaman. Di masa kini, eksplanasi sejarah tidak lagi disajikan melalui jargon-jargon masa lampau, mitologis, dan sekadar
‘meninabobokan’ kepuasan pembaca. Bahkan transendensi sejarah yang kian
merebak ketika sejarah direduksi bersamaan dengan mitos-mitos yang dipaksakan
hidup sudah seharusnya ditinggalkan, atau lebih dimungkinkan ke dalam sastra.
Oleh karenanya, paradigma lama
sejarah yang konvensional
itu telah memasuki era barunya yang lebih konstruktif.
Model sejarah yang terakhir
disebutkan memiliki pendekatan baru dan eklektik. Jika meminjam gagasan Thomas Kuhn[5]
dalam revolusi sainsnya, maka perubahan tersebut menapaki
dua tahap. Kesatu, Pengetahuan
Awal (P1) yang dibantah dan menemui berbagai anomali. Kedua, timbul
krisis lalu revolusi untuk mendatangkan Pengetahuan Baru (P2). Dengan kata lain, setelah model sejarah P1 menemui berbagai
bantahan dan anomali serta krisis, maka perlu
dilakukan revolusi keilmuan untuk melahirkan model sejarah P2.
Dalam model sejarah P2, ilmu dan Pendidikan
Sejarah lebih
diharapkan untuk dapat memberikan solusi nyata dan kebermaknaan bagi masyarakat. Dengan kata lain, peranan dan sumbangsih ilmu sejarah dan
Pendidikan Sejarah harus lebih
menonjolkan bagi masyarakat,
khususnya di dalam pembelajaran sekolah. Motto historia magistra vitae
(sejarah adalah guru bagi kehidupan) bukan hanya mengemuka dalam ilmu sejarah,
akan tetapi juga manifes dalam mengukir para lulusan Pendidikan Sejarah yang
diharapkan.
Kearifan sejarah menyatakan bahwa
masa lampau (past) memengaruhi masa
kini (present) dan masa kini
menentukan masa depan (future). Masa
lalu dihadirkan kembali guna merefleksikan presedensi dasar untuk dipelajari dan
dibenahi pada masa sekarang. Selanjutnya yang tak kalah penting adalah
bagaimana sejarah itu dapat memberikan cerminan yang baik untuk menatap masa
depan. Oleh karena itu, pemahaman sejarah harus menyajikan tiga hal. Kesatu, usaha menghadirkan masa lampau dalam memahami sejarah harus mampu menawarkan pandangan
yang lebih luas terhadap masa depan masyarakat. Dengan kata lain, pemahaman sejarah di era modern ini mesti mampu menggiring
khalayak untuk merefleksikan masa lalu demi kebutuhan masa kini dan masa depan.
Kedua, yang tak kalah
pentingnya untuk dilakukan adalah bagaimana
pemahaman sejarah dapat menjadi cermin yang baik dalam menatap masa depan. Sebab, berbagai lompatan gemilang di masa depan
akan lebih arif dan memungkinkan manakala dibangun
di atas kesadaran dan kepiawaian
masyarakat dalam mengumpulkan dan mengeksekusi pelbagai penyebab terjadinya
sejarah kejayaan.
Ketiga, pemahaman sejarah harus dapat memancarkan nilai-nilai keteladanan dari
berbagai
peristiwa dan kisah heroisme orang-orang besar (the great
man) di masa kini. Dalam hal ini, para pengkaji sejarah tidak
perlu mematok nilai-nilai keteladanan dari manusia sempurna (insan kamil). Sebab, manusia sempurna
bukan hanya jarang ditemukan, melainkan juga sebejat apapun tokoh sejarah, jika
ia memiliki nilai kebaikan, maka dalam konteks nilai
kebaikan itu ia dapat diteladani di masa kini.
Adolf Hitler, umpamanya. Kendati memiliki
reputasi kejam, namun sikap disiplinnya layak diteladani. Kendati Napoleon Bonaparte banyak menebar peperangan, namun ada satu nilai yang
pantas diteladani darinya, yakni cita-cita luhurnya untuk mewujudkan kemerdekaan
bangsanya (Perancis). Ironis
memang, akan tetapi nilai baik (good
value) tidak mengenal batas yang sempit untuk disekat. Sejauh nilai sejarah
itu mengandung kebaikan maka sudah seharusnya untuk diteladani bersama. Dalam konteks sejarah Indonesia, nilai-nilai keteladanan
itu dapat diungkap dari kiprah para pahlawan nasional di
dalam pembelajaran sejarah.
Problema
Pendidikan Sejarah
Masalahnya, tidak jarang sejarah yang dipelajari oleh peserta didik di sekolah
hanya berupa cerita-cerita
masa lalu dan dijadikan tujuan akhir sejumlah guru sejarah. Padahal, anggapan itu jelas keliru, sebab Pendidikan Sejarah menjadi sekadar menuntut kemampuan mengingat (recalling).
Selain mengingat yang sebenarnya termasuk ke dalam kemampuan kognitif dasar,
sesungguhnya Pendidikan Sejarah menuntut dan dapat mengembangkan kemampuan
pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi.[6]
Melalui Pendidikan Sejarah peserta didik mungkin memiliki segudang pengetahuan tentang peristiwa di masa lampau. Mereka mampu
mengingat banyak nama peristiwa sejarah, nama pelaku, tahun dan tempat peristiwa, dan jalannya peristiwa. Namun, Pendidikan Sejarah semacam itu hanya akan menjadi beban hapalan semata. Adapun target Pendidikan Sejarah yang hanya
sampai pada batas kemampuan mengingat, dirasakan terlalu dangkal manakala disematkan kepada Pendidikan Sejarah yang ilmiah.
Dalam konteks itu, kemampuan kognitif yang lebih tinggi seperti memahami, menerapkan, menganalisis,
mensintesis dan mengevaluasi tidak mampu dikembangkan atau seolah tidak menjadi kepedulian Pendidikan
Sejarah. Padahal belajar sejarah sejatinya merupakan cara berpikir aposteriori
yang menempatkan pengalaman masa lalu sebagai dasar berpijak untuk masa
sekarang dan masa mendatang.
Bentuk pengaruhnya pada masa kini adalah pengaruh yang sedang dalam
proses. Pengaruhnya pada masa mendatang sangat ditentukan oleh kemampuan menerapkan apa
yang terjadi di masa lampau dalam kehidupan masa sekarang. Oleh karena itu
adalah suatu keharusan bagi peserta didik untuk mengembangkan penyesuaian
tertentu terhadap hal-hal yang mereka pelajari dari masa lampau bagi masa kini dan dampaknya bagi masa
mendatang. Hasil Pendidikan Sejarah tersebut
harus sedapat mungkin diterapkan di masa kini.
Jadi hematnya, masalah utama Pendidikan Sejarah ialah kenyataan bahwa orang lebih
banyak memerhatikan materi sejarah dibanding kepentingan peserta didik. Pertanyaan yang sering diajukan dalam praktik Pendidikan Sejarah yang bermasalah itu ialah berapa banyak pengetahuan sejarah yang dimiliki
peserta didik, dan bukan bagaimana kepribadian seorang peserta didik setelah
belajar sejarah?
Apakah kepribadian seorang peserta
didik menjadi semakin baik sebagai manusia, warga masyarakat, warga bangsa, bahkan warga dunia?
Pertanyaan ini tampaknya jarang terdengar dan hanya menjadi pertanyaan mengendap. Artinya pertanyaan mengenai pengetahuan
sejarah lebih dominan dibandingkan pertanyaan tentang peserta didiknya. Pembelajaran
sejarah seperti ini tentu dapat membuat siswa merasa jenuh, dan terkesan keluar
dari esensi dasar belajar sejarah itu sendiri (Hasan, 2007).
Oleh karena itu, sudah
seharusnya para guru sejarah keluar
dari cara belajar sejarah yang konvensional itu. Tugas guru sejarah sebagai pendidik sejarah harus dipertegas guna mencapai
tujuan ideal Pendidikan Sejarah.
Belajar sejarah sejatinya merupakan wahana untuk menanamkan nilai-nilai yang
baik melalui kajian peristiwa dan tokoh
masa lampau kepada peserta didik. Pembelajaran sejarah yang hanya bertumpu pada
kepuasan akan pemahaman masa lalu dirasakan terlalu kering, karena tidak mampu memberikan konklusi final
berupa produk yang terlihat.
Artinya, esensi memanusiakan manusia harus menjadi
tujuan guru sejarah dalam mengukir para lulusannya,
yaitu kepribadian ideal peserta
didik setelah belajar sejarah. Oleh karena itu, rasanya perlu
ditegaskan kembali hakikat dasar
dari Pendidikan Sejarah di sekolah. Dalam konteks ini, setidaknya
terdapat tiga conditio
sine qua non (syarat mutlak) yang harus dipenuhi guru sejarah dalam mengajarkan sejarah kepada
peserta didik.
Kesatu, syarat ontologis sebagai sesuatu yang harus benar-benar menjadi dasar dari
struktur pengetahuan sejarah. Seperti yang diketahui, umumnya sejarah
mempelajari tingkah laku manusia dengan lingkungannya serta segala
perkembangannya. Peristiwa sejarah yang akan dijadikan objek kajian pun
haruslah bersifat unik, artinya
tidak semua tingkah laku manusia di masa lalu bisa dijadikan bahan kajian, peristiwa
tersebut haruslah peristiwa yang mempunyai makna dan berpengaruh pada banyak
orang.
Umpamanya,
kehidupan sehari-hari seseorang dalam melakukan
aktivitas rutinnya tidak bisa dijadikan objek kajian, karena hal itu juga
dilakukan oleh orang lainnya. Ketika kita membicarakan sejarah, maka yang
pertama kali dipahami bahwa sejarah merupakan kejadian yang pasti telah terjadi di masa lalu. Oleh karena itu, konsep ontologi menjadi penting dalam tatanan ilmu sejarah. Sebab, hakikat ‘ada’ ini menjadi nadi
yang teramat vital dalam menentukan sebuah peristiwa itu benar-benar terjadi
atau tidak di masa lalu.
Pada dasar filosofis ini pula,
guru sejarah diharapkan mampu memberikan pengetahuan dasar kepada peserta didik
mengenai pelajaran sejarah. National
Research Council di Amerika Serikat, khususnya mengenai bagaimana siswa
belajar sejarah merekomendasikan pentingnya penggunaan substantive concepts. Substantive
concepts ini merupakan materi dasar dari belajar sejarah yang isinya
meliputi perubahan-perubahan, evidensi, nasionalisme, raja, kerajaan,
kebudayaan, negara, ideologi, bangsa, imperialisme, kolonialisme, dan lain-lain
dalam pembelajaran sejarah. Konsep-konsep tersebut menjadi dasar bagi siswa
untuk menumbuhkan kesadaran sejarah (historical
awareness).
Namun demikian, Supriatna (2017: 2) mengatakan bahwa
karena substantive concepts dalam
sejarah selalu berubah sesuai dengan konteks zamannya dan oleh karena itu tidak
selalu relevan dengan persoalan-persoalan kontemporer (Lee, 2005: 61) serta
sering tumpang tindih dengan berbagai disiplin (Gilbert and Vick (1996:47),
peserta didik rentan terjebak pada zaman dimana materi sejarah tersebut
diajarkan. Maka analytical concepts dapat
dipakai dalam mengembangkan pembelajaran setelah substansive concepts dikuasai oleh para siswa, baik melalui proses
pembelajaran maupun pengalaman terdahulu. Analytical
Concepts memusatkan kajiannya terhadap konteks zaman dimana siswa hidup.
Maka dari itu diperlukan penyesuaian tertentu agar pembelajaran sejarah di
sekolah-sekolah dapat lebih bermakna dan menjadikan peserta didik pelaku
sejarah di zamannya. Artinya, pemahaman sejarah yang lebih kompleks (past, present, & future) menjadi
sebuah kebutuhan dalam Pendidikan Sejarah yang diharapkan.
Setelah membahas ontologi dalam
sejarah, maka syarat kedua bagi ilmu dan pendidikan sejarah ialah kajian epistemologinya. Landasan epistemologi ialah metode ilmiah. Dalam konteks ini, metode ilmiah ialah serangkaian prosedur yang dipakai untuk memperoleh pengetahuan menjadi ilmu, yaitu dengan berpikir analytic-synthetic[7].
Berdasarkan pada kegiatan berpikir analytic-synthetic,
kegiatan
berpikir hanya akan menghasilkan pengetahuan, dan dengan berpikir analytic-synthetic, maka akan dapat
mengembangkan pengetahuan menjadi ilmu. Singkatnya metode ilmiah dapat
dikatakan sebagai sintesis antara berpikir rasional yang bertumpu pada data
empiris.
Secara rasional, ilmu menyusun
pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif. Lalu secara empiris, ilmu memisahkan pengetahuan
yang sesuai dengan fakta dan yang tak sesuai dengan fakta. Dalam ilmu sejarah, obyek yang diteliti atau ditulis harus melalui metodologi yang sistematis dan
sesuai dengan prosedur ilmiah dalam ilmu sejarah. Semua obyek yang ditemukan dalam ilmu sejarah tidak disusun begitu saja, melainkan harus disistematisasikan dan melalui tahapan-tahapan yang lebih kritis dan analitis.
Jadi dapat disimpulkan bahwa
epistemologi dalam ilmu sejarah digunakan agar pengetahuan tersebut dapat
menjadi ilmu.
Epistemologi ilmu sejarah berkenaan dengan penggunaan tata cara atau kaidah-kaidah ilmiah yang lebih sistematis dan bisa menangkap pengetahuan. Dengan kata lain, epistemologi
ilmu sejarah memantapkan aspek sumber pengetahuan, asal mula
pengetahuan, validitas pengetahuan, dan kebenaran ilmu sejarah.
Pasca Post-Modernisme muncul dan pengaruhnya merembesi ilmu
pengetahuan, ilmu sejarah pun tidak luput dari pengaruhnya. Pengaruh
Post-Modernisme tampak pada mencairnya dinding pembatas dan eksklusivitas ilmu
sejarah dengan ilmu-ilmu lainnya, sehingga praktik saling meminjam temuan
bahkan pendekatan untuk kepentingan ilmu sejarah kian marak dilakukan.
Umpamanya, hal itu tampak dalam
fenomena penggunaan empat pendekatan (approachment)
keilmuan, antara lain crossdisipliner, multidisipliner, interdisipliner, dan transdisipliner. Menurut Miller[8], fenomena itu boleh disebut sebagai proses
re-organisasi
pengetahuan (reorganization of knowledge). Namun, meski berdampak baik, tidak jarang ditemukan
beberapa dikotomis yang menyebabkan persinggungan di antaranya menjadi suatu
permasalahan.
Syarat yang ketiga
merupakan syarat terpenting dan menjadi pembeda antara cara belajar sejarah konvensional dengan Pendidikan
Sejarah yang diharapkan,
yaitu syarat aksiologis.
Menurut Jujun S. Suriasumantri, aksiologi ialah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan pengetahuan yang diperoleh.
Aksiologi adalah nilai-nilai (values)
sebagai tolak ukur kebenaran (ilmiah), etik, dan moral sebagai dasar normatif
dalam penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu. Jadi aksiologi adalah
suatu teori tentang nilai yang berkaitan dengan bagaimana suatu ilmu digunakan
secara nyata.
Ilmu menjadi berguna ketika ilmu ini berkontribusi memajukan pemikiran dan peradaban manusia. Di dalam
sejarah sendiri, pengalaman yang dihasilkan dari perjalanan sejarah menjadi
guru yang paling berharga untuk kemajuan manusia. Sejarawan Taufik Abdullah menyatakan bahwa sejarah
mencatat kegairahan masyarakat dalam berbuat, kegembiraan dalam keberhasilan,
kekecewaan dalam kegagalan, dan kegelisahan ketika sesuatu yang tak diketahui
datang begitu saja. Sejarah merupakan kisah dari penghadapan dan pergumulan
masyarakat dengan nasibnya. Karena itulah sejarah memantulkan kearifan bagi
siapa saja yang bisa memahami dinamikanya.
Dengan pemahaman sejarah, kita lebih dimungkinkan
menyadari sepenuhnya struktur dari kekinian kita dan memperkirakan corak
tantangan yang harus dihadapi nantinya. Banyak nilai-nilai (values) yang terkandung dalam setiap
peristiwa sejarah yang pernah terjadi. Oleh karena itu, aksiologi sejarah harus diberi penekanan khusus terhadap Pendidikan
Sejarah di sekolah. Sebab, pengetahuan
sejarah bukan satu-satunya
prioritas, melainkan prioritas utamanya adalah kondisi peserta
didiknya setelah belajar sejarah. Jadi perlu ditegaskan lagi bahwa tugas
sejarawan dan guru sejarah berbeda secara filosofis.
Landasan filosofis Pendidikan Sejarah ialah kurikulum. Tanner & Tanner (1980) menyatakan bahwa sebuah kurikulum dapat dikembangkan atas dasar filosofi
berikut. Kesatu, Perrenialism. Kedua, Essentialism. Ketiga, Humanism. Keempat,
Reconstructionism. Dalam konteks ini, gagasan Pendidikan
Sejarah yang ideal sebagaimana dituturkan penulis dalam tulisan ini tampaknya
relevan dengan filsafat Reconstructionism.
Menurut recontructionism, jelas bahwa rekonstruksi
sosial adalah perkembangan lebih lanjut dari progresivism yang memandang Pendidikan Sejarah harus berorientasi ke masa sekarang dan masa depan. Pendidikan Sejarah mestilah menyiapkan
peserta didik untuk suatu kehidupan yang lebih baik di masa sekarang dan masa
mendatang. Oleh karena itu, "the future should receive at least as much
scrutiny as our past, for the present is a function not only of the past but of
the future as well" (Longstreet & Shane, 1993:115).
Artinya, Pendidikan Sejarah tidak
boleh hanya terpaku pada masa lampau tetapi juga harus memberikan perhatian
yang sama mengenai apa yang terjadi di masa sekarang, bahkan pada masa yang
akan datang. Dengan demikian, menakar bobot kebermaknaan sejarah dalam pandangan rekonstruksi sosial dapat dipahami bahwa ketiga
dimensi waktu (past, present, dan future) dalam sejarah harus terwujud
sebagai konklusi
akhir dari pembelajaran sejarah. Kendati landasan filosofi yang dominan dalam pendidikan
Indonesia hari ini ialah esensialisme dan perenialisme, namun Pendidikan
Sejarah seharusnya dapat mengambil keuntungan dari berbagai filsafat
pendidikan yang ada. Penggunaan landasan filosofis yang beragam dan eklektik ialah
kewajaran tak terbantahkan[9]
(Schubert, 1980).
Jadi, jelas bahwa
selain harus dapat menguasai aspek ontologi dan epistemologinya, guru sejarah pun harus bisa menarik
aspek aksiologi (nilai-nilai / values) ilmu sejarah. Aspek aksiologi inilah yang membedakan secara mendasar antara ilmu sejarah dengan Pendidikan
Sejarah. Dengan kata lain, tugas guru sejarah bukan hanya mentransfer pengetahuan sejarah kepada peserta didik, melainkan juga yang harus ia perhatikan ialah bagaimana
caranya menyajikan mata pelajaran sejarah yang berorientasi pada
penanaman nilai-nilai keteladanan dari
suatu peristiwa dan tokoh
sejarah. Terlebih, seorang guru sejarah harus mampu memahami dinamika
kurikulum, teori pembelajaran, model pembelajaran, sampai kepada aspek
psikologis peserta didik.
Berbagai paradigma pembelajaran sejarah yang usang
sudah tidak memiliki perannya lagi di masa sekarang. Keringnya pembelajaran
sejarah akibat hanya mencari kepuasan pengetahuan harus diminimalisir. Singkat kata Pendidikan Sejarah mesti
didorong aspek kebermaknaannya bagi peserta didik. Dengan kata lain, Pendidikan
Sejarah yang dilaksanakan harus dipastikan kemampuannya dalam menyajikan mata
pelajaran sejarah yang bermakna.
Dengan Pendidikan Sejarah,
diharapkan guru sejarah dapat menstransformasikan nilai-nilai kebangsaan kepada peserta didik. Sebab, sulit dimungkiri, Pendidikan Sejarah di
sekolah berperan penting dalam membangkitkan kesadaran sejarah (historical awareness) peserta didik. Kesadaran sejarah memiliki porsi yang besar dalam
mengembangkan dan memantapkan nasionalisme peserta didik sebagai penguat identitas nasional.
Hal itu sebagaimana dipertegas
oleh Wiriatmadja (2002, hlm. 156-157):
Pengajaran sejarah adalah untuk membangkitkan kesadaran
empatik (emphatic awareness) di kalangan peserta didik, yaitu sikap
empati dan toleransi terhadap orang lain yang disertai dengan kemampuan mental
untuk imajinasi dan kreativitas, jika sejarah dipahami dengan benar oleh
peserta didik. Pengajaran sejarah nasional di sekolah, bagaimanapun akan
memperkenalkan peserta didik kepada pengalaman kolektif dan masa lalu
bangsanya. Pengajaran ini juga membangkitkan kesadaran dalam kaitannya dengan
kehidupan bersama dalam komunitas yang lebih besar, sehingga tumbuh kesadaran
kolektif dalam memiliki kebersamaan dalam sejarah. Proses pengenalan diri
inilah yang merupakan titik awal dari timbulnya rasa harga diri, kebersamaan,
dan keterikatan (sense of solidarity), rasa keterpautan dan memiliki (sense
of belonging) kemudian rasa bangga (sense of pride) terhadap bangsa
dan tanah air.
Dewasa ini masyarakat tenggelam dalam penjara
individualistis yang semakin menjadi-jadi, solidaritas sosial semakin sempit,
dan semangat toleransi kian disekat oleh dinding-dinding sektarian yang semakin
tebal. Keadaan masyarakat yang kurang siap menghadapi perubahan tersebut sebenarnya merupakan sebuah wujud ketidaksiapan mental dari
generasi kita. Padahal ketidaksiapan
mental ini sebenarnya dapat ditanggulangi melalui
pemahaman makna dinamika sejarah yang benar. Dengan kata lain, akar permasalahan itu adalah kegagalan atau
ketidaksiapan kita dalam mengembangkan
kesadaran sejarah (historical awareness) ketika menghadapi setiap kejutan yang terdapat pada setiap zaman.
Belajar sejarah adalah wahana pendidikan peserta didik agar mampu menemukan jati diri pribadi, masyarakat, dan bangsanya. Melalui belajar sejarah, peserta didik harus dibimbing untuk menyadari fungsinya dalam masyarakat
dan diharapkan menjadi manusia yang mau dan biasa melakukan aktivitas yang
bermanfaat di dalam kehidupan sehari-hari dan berpartisipasi dalam membangun
masyarakat yang demokratis. Akhirnya, penting bagi guru
sejarah untuk mengacu kepada kurikulum pendidikan karakter yang tengah digenjot
sekarang dalam mengajarkan mata pelajaran sejarah.
Terdapat delapan belas (18) karakter yang menjadi bagian dari tujuan pendidikan nasional yang relevan dengan desain Pendidikan Sejarah
yang bermakna. Mata pelajaran sejarah tentu saja harus
ikut berpartisipasi dalam mengembangkan pendidikan nilai sebagai usaha membenahi moral bangsa yang tengah digalakkan ini. Antara lain dalam Pendidikan Sejarah terdapat
nilai-nilai integrasi yang dapat ditransformasikan untuk
memperkuat landasan identitas nasional bangsa kita.
Melalui Pendidikan Sejarah yang kontruktivistik, guru sejarah dapat membangun nilai-nilai nasionalisme peserta didik manakala mempelajari sejarah
nasional. Dengan tumbuhnya rasa nasionalisme yang kuat dalam diri peserta didik, maka diharapkan
peserta didik akan mampu dan mau ikut
berpartisipasi aktif dalam membangun bangsa. Dan hal ini dimungkinkan terjadi manakala pemahaman sejarah lebih memperhatikan kebermaknaan peserta didik dibanding
kepuasan menghapal mata pelajaran
semata-mata.
Terobosan Baru
Akhirnya, diperlukan
terobosan baru (new breakthrough) dalam menyajikan mata pelajaran sejarah yang
memiliki nilai jual bagi masyarakat. Pendidikan Sejarah harus dapat
memainkan perannya dalam membangun generasi yang valuable, yang dapat memberikan kontribusi dalam bersikap sebagai bagian dari warga bangsa dan
negara, sekaligus menjadi penyeimbang bagi pembangunan bangsa.
Sulit dimungkiri, Indonesia
sedang gencar-gencarnya melakukan pembangunan fisik di segala aspek. Hal ini lumrah, mengingat arus globalisasi mengharuskan
kita untuk ikut berpartisipasi dalam membangun sebuah negara yang maju. Namun, seiring buldoser yang wara-wiri membangun fisik negara ini, tentu diperlukan pula penyeimbangnya
berupa pembangunan pendidikan
yang menyasar dimensi psikis atau mental manusia
Indonesia.
Revolusi mental yang menjadi judul besar pemerintahan
sekarang tampaknya harus
kita amini bersama. Pembangunan fisik sifatnya mutlak. Sebab, ada dana sama dengan ada
pembangunan. Namun, hal ini akan berbeda
jika kita berbicara mengenai membangun mental masyarakat. Sebab, manusia bukanlah mesin yang dapat dikendalikan secara pasti. Oleh sebab itu, tugas memanusiakan manusia merupakan
sebuah hal yang tidak bisa dianggap selesai.
Tidaklah berarti sebuah negara yang maju jika
masyarakatnya masih miskin dalam pengetahuan dan lemah dalam segi budaya. Hal ini dapat dilihat
dari kondisi masyarakat Indonesia baru-baru ini. Mirip seperti yang dikemukakan Emile
Durkheim, masyarakat Indonesia akhir-akhir ini tampaknya tengah dalam
kondisi anomie menyangkut kerukunan SARA. Jelas belaka bahwa anomie ini
harus segera ditangani, termasuk oleh keikutsertaan Pendidikan Sejarah.
Dan tampaknya, Pendidikan Sejarah
yang akan efektif menangani anomie
ini bukan yang bertitik tekan pada hapalan atas fakta sejarah. Melainkan Pendidikan
Sejarah yang bermakna dan benar-benar menguatkan identitas nasional peserta didik. Apakah para guru
sejarah merasa tergerak dan mampu melakukannya? Semoga saja.
[1]
Berdasarkan
catatan Polri, ada 25 kasus intoleransi yang terjadi sepanjang tahun 2016.
Sementara Komnas HAM mencatat ada 97 kasus intoleransi yang didapat berdasarkan
laporan masyarakat. Data ini mengalami peningkatan dari sebelumnya sebanyak 87
kasus pada tahun 2015 dan 76 kasus selama tahun 2014. Selain itu, Setara
Institute mencatat terdapat 151 peristiwa pelanggaran kebebasan
beragama/berkeyakinan (KBB) yang terjadi sepanjang 2017. Peristiwa penyerangan
gereja di Yogyakarta belum lama ini menambah catatan baru di awal tahun 2018.
[2] Istilah demarkasi dipopulerkan oleh
Karl Raimund Popper dalam teori falsifikasinya. Demarkasi merupakan pemisahan
antara ilmu sejati (science) dan ilmu
semu (pseudo-science).
[3] Ada yang menarik
ketika kita menemukan benang tipis antara fiksi imaginatif dan fakta yang kerap
kali menjadi polemik persinggungan antara sastra dan sejarah disini, Bambang
Purwanto (2006:2) mengatakan bahwa secara umum sastra selalu dikaitkan dengan
fiksi yang imaginatif, sedangkan sejarah tidak dapat dipisahkan dari fakta
untuk menemukan kebenaran masa lalu sebagai sebuah realitas yang dibayangkan.
Lebih jauh, Bambang Purwanto sendiri mengakui bahwa sejarah dan sastra sering
dianggap berada di dalam tataran yang sama.
[4] Sejarawan Yunani lebih tertarik pada
hal yang bersifat kosmopolitan, sedangkan sejarawan Romawi biasanya hanya
mengenal satu tema, yaitu Roma. Namun dalam hal itu harus diingat, dibandingkan
dengan negeri Yunani yang secara politik terbagi menjadi wilayah-wilayah
(polis-polis) yang kecil-kecil, Romawi sejak perang Punisia telah berkembang
luas dan relatif mendunia. Perhatian yang besar untuk masa Romawi yang terbaru,
bisa ditemukan bentuk-bentuk annalistik yang
luas, sedangkan kronik relatif jarang ditemukan. Gaya penulisan
historiografi Romawi juga banyak mengandung unsur-unsur kepahlawanan
karena sejarah yang ditulis berdasarkan pada orientasi militer-politik yang
kental dengan retorika perang atau gagasan politik.
[5] Thomas Samuel Kuhn, dia lahir pada tahun 1922 di
Cincinnati, Ohio, Amerika dan meninggal pada tahun 1996. Kuhn adalah tokoh filsafat yang
mengarang buku The Structure of Scientific Revolution tahun 1962 yang
berisi tentang pernyataan adanya kesalahan-kesalahan fundamental tentang image
atau konsep ilmu terutama ilmu sains yang telah dielaborasi oleh kaum filsafat
ortodoks, sebuah konsep ilmu yang dengan membabi-buta mempertahankan dogma-dogma
yang diwarisi dari Empirisme dan Rasionalisme klasik. Sebagai seorang filsuf sains,
Kuhn dengan tepat mencatat bahwa diperlukan revolusi untuk merubah teori-teori
sains karena para ilmuwan tidak berpegang pada teori mereka secara tentatif.
[6] Dalam dunia kependidikan, hal ini dikenal
sebagai Taxonomi Bloom yang diambil dari nama penggagasnya yakni Benjamin
Bloom. Selengkapnya silahkan pelajari dalam Bloom,
B. S. ed. et al. (1956). Taxonomy
of Educational Objectives: Handbook 1, Cognitive Domain. New York: David McKay.
[7] Istilah “analitik” dan “sintetik”
telah dipakai oleh filsuf-filsuf dengan berbagai cara yang berbeda. Gottlob Frege lebih memusatkannya kepada
cabang ilmu matematika, Rudolf Carnap dalam bahasa, dan Immanuel Kant dalam
filsafatnya. Analitik dan sintetik adalah bentuk dari kegiatan berpikir atau
berlogika dengan menggunakan bahasa dan referensinya sebagai alat nalar bagi
proposisi untuk menyatakan kebenaran sebuah pernyataan. Logika analitik
menawarkan kejelasan pengindraan yaitu berupa keluasan pengetahuan. Sedangkan
logika sintetik menawarkan kejelasan wawasan yaitu kedalaman pemahaman. Menurut
Kant, proposisi akan merupakan analitik bila subjeknya terkandung di dalam
predikatnya, sedangkan yang sintetik adalah yang subyeknya berada di luar
predikatnya. Pemikiran Kant sejatinya timbul atas kritiknya terhadap
rasionalisme dan empirisme yang dianggapnya memiliki kecenderungan yang
memihak. Oleh karena itulah melalui paham kritisisme-nya, Kant mengajukan
sintesis keduanya berdasarkan pada cara rasio menerima pengetahuan, dan
empirisme yang memetakannya menjadi ilmu.
[8] Lihat
Thaddeus R. Miller, “Epistemological Pluralism: Reorganizing Interdisciplinary
Research,” Ecology
and Society 13(2): 46, 2008.
[9] Karakteristik kurikulum di Indonesia
tidak mengikuti satu mazhab, melainkan lebih merujuk kepada
beberapa mazhab. Pada zaman Kemerdekaan kurikulum pendidikan berpandangan
dengan mazhab Plato dengan idealisme. Pada zaman Orde baru, pendidikan
mempunyai tugas yang lebih besar dengan memusatkan penanaman nilai-nilai
kebangsaan melalui pembentukan moral bangsa (national character building). Kurikulum tahun 1975 terdapat unsur
idealisme Plato melalui esensialismenya, namun terdapat juga unsur Pancasila
yang berarti terdapat pula mazhab perenialisme (mazhab pendidikan modern yang
menentang arus progresivisme terutama pada pragmatisme). Artinya kurikulum
tahun 1975 bersifat “eklektik” atau menggabungkan beberapa
bentuk filsafat.