Komunisme Masa Kolonial Belanda : Bagian 2
Komunis
Merambah Organisasi Pergerakan Nasional
Oleh:
Dwiki Septiandini
Fieka Nadya
Ari Supriyatno
Perkembangan Komunisme di Indonesia Masa Kolonial
Setelah berdiri
pada tanggal 23 Mei 1920, PKI semakin berkembang pesat. Diperbolehkannya
keanggotaan ganda pada tubuh SI dilihat sebagai kesempaatan besar bagi PKI
untuk menyusup ke organisasi tersebut yang kemudian bertujuan umtuk memecahnya.
Hal ini dilakukan karena PKI menyadari bahwa pada saat itu SI merupakan sebuah
organisasi pergerakan nasional yang besar dan kuat. Sehingga timbul keinginan
diantara pimpian PKI untuk menguasainya. Gebrakan-gebrakan yang dilakukan PKI
dalam tubuh SI terang saja membuat pimpinan CSI menjadi berang. CSI melihat
bahwa tindakan tindakan yan dilakukan oleh PKI telah mengarah kepada sebuah
ancaman keutuhan didalam tubuh SI sendiri. CSI kemudian menyadari bahwa yang
menjadi penyebab pengaruh PKI begitu kuat dalam tubuh SI adalah karena SI
memperbolehkan sistem keanggotaan rangkap, sehingga menjadi sangat mudah untuk
disusupi oleh orang-orang yang bersal dari organisasi lain[1].
Transformasi
Komunisme dalam Organisasi Pegerakan Nasional
Sumber:
google.com/image
Pada bulan
Oktober 1921 dilaksanakan kongres SI yang ke VI di Surabaya. Pada saat itu
terjadi suasana panas mewarnai jalannya kongres karena adanya perdebatan yang
terjadi diantara fraksi komunis yang diwakili oleh Darsono dan Tan Malaka
dengan pimpinan SI pada saat itu Haji Agus Salim. Pada kongres tersebut
kemudian diputuskan bahwa dilarangnya keanggotaan rangkap. Artinya anggota SI
tidak lagi boleh menjadi anggota dari organisasi lain, jadi bagi anggota yang
selama ini merangkap sebagai anggota dari organisasi lain harus memilih antara
SI atau organisasi lainnya tersebut. Keputusan ini sontak mendapat perlawanan
dari faksi komunis karena hal tersebut akan sangat merugikan bagi mereka. [2]
Sadar bahwa
keluar dai SI merupakan sesuatu yang akan sangat merugikan bagi kekuatan PKI,
maka Semaun selaku ketua PKI dan SI Semarang pada saat itu menolak keputusan
kongres dan justru menghimpun kekuatan didalam tubuh SI. Semaun kemudian
melakukan propaganda dalam tubuh SI dan mengatakan bahwa apa yang telah
diputuskan dalam kongres merupakan sebuah sesuatu yang keliru dan oleh sebab
itu harus di tinjau kembali keputusannya. Namun, pimpinan SI pada sat itu tetap
bersikeras pada apa yang telah diputuskan dalam kongres. Dengan keputusan
tersebut maka anggota-anggota SI yang tidak mau keluar dari PKI dikeluarkan
dari tubuh SI. Sekalipun keputusan ini akan mengurangi jumlah anggota, namun
pimpinan SI tetap menganggap bahwa keputusan ini merupakan hal terbaik yang
harus dilakukan[3].
Semaun dan para
anggota SI yang juga merupakan PKI tidak tinggal diam dengan keputusan ini.
Mereka tetap tidak mau menerima hasil kongres dan tidak keluar dari SI. Mereka
kemudian membentuk SI tandingan yang di sebut sebagai SI Merah, sedangkan SI
yang menerima hasil kongres tersebut dinamakan sebagai SI Putih. SI tandingan
ini tidak hanya terjadi ditingkat pusat, melainkan juga samapi ke cabang di
daerah-daerah. Pada kongres PKI II di Bandung Maret 1923 dirumuskan secara
jelas bahwa mereka menentang secara terang-terangan SI sebagai kekuatan
politik, dan mengubah SI merah menjadi Sarekat Rakyat (SR) sebagai organisasi
yang berada dibawah PKI. Pemerintah Hindia Belanda melihat bahwa kekuatan
komunis sudah mulai berkembang dan semakin menyebabkan ancaman karena aksi yang
dilakukan anggotanya. Kemudian pemerintah Hindia Belanda mengusir tokoh-tokoh
komunis seperti Muso, Alimin, Darsono dan Semaun. Tokoh-tokoh ini menyebar ke
Asia hingga Eropa. Namun tidak lama kemudian pada akhir tahun 1923 tokoh-tokoh
komunis tersebut kembali ke Hindia Belanda.
(http://repository.usu.ac.id/bitstream).
Ternyata
kepergian mereka meninggalkan Hindia Belanda telah mengakibatkannya kelemahan
dalam kepemimpinan Perserikatan Komunis di Hindia Belanda. Untuk kembali
membangkitkan kekuatan komunis tersebut, Semaun dan Darsono mencoba untuk
menghimpun kembali kekuatan dengan melakukan kongres pada Juni 1924 di Jakarta.
Pada saat itulah nama Partai Komunis Indonesia (PKI) resmi di gunakan. Kongres
tersebut juga memutuskan untuk memindahkan markas besar PKI dari Semarang ke
Batavia (sekarang Jakarta) dan memilih pimpinan baru yaitu Alimin, Musso,
Aliarcham, Sardjono dan Winanta. Dalam kongres tersebut juga diputuskan untuk
membentuk cabang cabang di Padang, Semarang, dan Surabaya. [4]
Komunisme
ternyata telah berhasil memecah bela SI kedalam dua bagian. Bagian pertama
adalah mereka yang mempunyai pandangan komunis dalam tubuh SI dan bagian yang
kedua adalah mereka yang menentang ajaran komunisme dalam tubuh SI. Sekalipun
akibat ulah dari komunisme SI mengalami penurunan dalam jumlah anggotanya, tapi
bagi pimpinan SI hal ini harus dilakukan untuk menyelamatkan SI itu sendiri.
Atas peristiwa tersebut SI dan PKI pun menjadi dua kekuaan politik yang berdiri
sendiri dan saling melakukan persaingan dalam mendapatkan simpati/dukungan dari
rakyat[5].
Bergabung dengan Komintern
Konvensi
pertama PKI di gelar di basecamp Sarekat
Islam, di Semarang, Jawa Tengah, pada pertengahan Desember 1920. Ribuan anggota
dan simpatisan hadir disana, dan rapat berlangsung tertutup dan underground,
karena walaupun partai ini sudah memiliki basis massa yang banyak, tapi keberadaan
mereka masih illegal dimata
pemerintah saat itu. Agenda utama Konvensi ini adalah memutuskan satu soal
penting tentang “bergabung tidaknya PKI dengan Komunis Internasional
(Komintern)”[6].
Dari
kesepakatan rapat itu, akhirnya mereka memutuskan untuk berafiliasi dengan
Komintern yang berpusat di Moscow (Uni
Soviet), yang di kepalai oleh Josep Vissarionovich Stalin. Sehingga, kebijakan
partai mau tak mau harus segaris dengan apa yang dirumuskan di
Moskow (Komintern), dan wakil pertama Indonesia di rapat - rapat Komite
Eksekutif Komunis Internasional di Moscow adalah Sneevliet (yang sebelumnya
dibuang Belanda) , setelah itu ada Semaoen dan Darsono yang selanjutnya mereka
menjadi agen - agen kunci Komintern. Saat
kongres PKI 24-25 Desember 1921, Tan Malaka (seorang aktivis PKI yang
sebelumnya dikirim belajar ke Netherland dan
kembali lagi ke Indonesia tahun 1919) dan diangkat sebagai pimpinan partai
cabang Asia Tenggara dan Australia[7].
Selain itu juga
berkat di perbolehkannya keanggotaan ganda pada SI menyebabkan banyak anggota
SI yang kemudian ikut terjun kedalam ISDV. Hal ini karena sebagian besar
anggota SI adalah golongan pedagang dan golongan masyarakat kelas bawah. Selain
itu karna syarat keanggotaan dari SI yang sangat mudah yaitu “hanya beragama
Islam” membuat SI ini berkembang sedemikian pesatnya. Dari situlah timbul
gagasan baru dari Snivleet dan rekan-rekan untuk menyusupi organisasi ini
sekaligus menjaring keanggotaan untuk mendirikan PKI. Dari aksi penyusupan
itulah banyak orang-orang yang tidak mengerti apa makna dari sebenarnya PKI
kemudian menjadi anggota PKI. Bukan hanya itu saja Komunisme mudah menarik
bangsa-bangsa terjajah atau mudah diterima oleh masyarakat karena
mereka merasa akan dibebaskan dari belenggu penjajahan. Itulah sebabnya
komunisme mendapat sambutan tidak sedikit di Indonesia. Karena sebagian
besar penduduk indonesia adalah golongan petani maupun pedagang yang kurang
mempunyai pengaruh[8].
Daftar Pustaka
George McTurnan Kahin. 1995.Nasionalisme dan
Revolusi di Indonesia: RefleksiPergumulan Lahirnya Republik. UNS Press dan
Pustaka Sinar Harapan.
M.C. Ricklefs. 2005. Sejarah Indonesia
Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Poesponegoro , Marwati Djoened. 2008. Sejarah Nasional
Indonesia V – Zaman Kebangkitan Nasional
dan Masa Hindia Belanda . –cet-2 Edisi Pemuktahiran. Jakarta : Balai Pustaka.
.1991.
Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, Bahaya Laten Komunisme di Indonesia,
Jilid I, Jakarta.
Shiraishi, Takashi. 1997. Zaman Bergerak:
radikalisme rakyat di Jawa, 1912-1926. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Soe Hok Gie. 2005. Orang-orang Di
Persimpangan Kiri Jalan. Yogyakarta. Bentang Pustaka.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28277/4/Chapter%20II.pdf,
(diakses pada hari senin,10 maret 2014, pukul 15:00 WIB).
[2] Ibid. Hal, 4
[3] Ibid. Hal, 4-5.
[4] Ibid. Hal, 5-6.
[5] Ibid. Hal, 6.
[6] http://www.usd.ac.id/lembaga/lppm/f1l3/Jurnal%20Historia%20Vitae/vol21
[7] http://www.usd.ac.id/lembaga/lppm/f1l3/Jurnal%20Historia%20Vitae/vol21.Op.Cit.hal,5).
[8] Ibid. Hal, 4.